Senin, 22 September 2014

Pertukaran Dalam Ekonomi Islam

A.    Sejarah Barter
   Pada peradapan awal, manusia memenuhi kebutuhan secara mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai buah-buahan. Masing-masing individu memenuhi kebutuhan makanan secara mandiri.  Allah menciptakan manusia dan menjadikannya mahluk yang membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tepat tinggal. Oleh karna itu, sejak awal sejarah manusia, orang-orang berkerja keras dalam kehidupan untuk memenuhi terjaminnya barang dan jasa dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang Allah berikan bagi mereka.  Dalam periode pre-barter ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli. 
    Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabanya semakin maju, kegiatan dan interaksi antar sesama manusia pun semakin meningkat tajam, kebutuhan manusia pun semakin beragam. Sehingga masing-masing individu mulai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, satu samalain saling membutuhkan.  Ketika tidak sanggup seorang diri dalam memenuhi segala kebutuhan barang dan jasa, terjadilah kerja sama sesama manusia dalam rangka menjamin terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan itu.  Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang. Periode inilah yang disebut dengan periode barter.
    Perekonomian barter adalah suatu perekonomian yang sistem transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Perekonomian semacam ini pernah berlangsung dahulu kala semasa uang belum ditemukan. Ketika itu setiap barang dapat dipertukarkan dengan barang lain.  Kemudian, katika lahirmya agama islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, arabia sudah meninggalkan sistem barter, dan memakai sistem jual beli dan perdagangan.
    Perdagangan barter dalam bentuk modern, kendati tidak umum sesungguhnya pun masih berlangsung dalam zaman skarang, baik antar pribadi maupun antar negara. Indonesia saat ini juga menerapkan barter modern secara halus atau tidak ketara, yakni melalui sistem “perdagangan imbal beli” (counter puchase). Negara lain boleh mengekpor barang tertentu hasil produksinya dengan ketentuan harus mengimpor barang tertentu lain dari sini.
    Perdagangan dengan pola barter rasanya bukanlah suatu yang terlarang dalam islam, sepanjang terdapat kesukarelaan diantara pihak-pihak yang bertransaksi.
B.     Uang
Dinar emas dan dirham perak serta uang Bantu fulus (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku pada zaman Rasulillah Saw.  Uang adalah suatu alat atau media tukar yang digunakan dalam pembelian dan atau penjualan barang-barang dan jasa-jasa, uang juga merupakan suatu standat nilai.   Secara etimologi, ada beberapa definisi tentang makna uang, diantaranya adalah al-Naqdu yang bermakna tunai, yakni memberikan bayaran segerah.  Selain itu, uang juga sebagai standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Oleh karna itu, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga.
Pada mulanya tidak ada uang. Keluarga pada jaman dahulu mencukupi kebutuhannya sendiri tiap rumah tangga memproduksi semua yang mereka konsumsi dan mengkonsumsi semua yang mereka produksi, sehingga sedikitkebutuhan untuk pertukaran. Tanpa pertukaran, tidak ada kebutuhan uang.
Pertama kali, uang dikenal dalam peradaban sumeria dan babylonia. Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti pperjalanan sejarah. Dari perkembangan inilah, uangkemudian bisa dikatagorikan dalam tiga jenis, yaitu uang barang, uang kertas dan uang giral atau uang keridit.
Tidak seorangpun mencatat saat kemunculan uang secara tepat. Dengan demikian hanya dapat dikira-kira bagaimana pertama kali digunakan. Melalui pengalaman yang telah terkumpul dalam pertukaran barter, pedagang mungkin dapat dengan mudah menemukan pribadi atas barang tertentu. Apabila seorang pedagang tidak dapat menemukan barang yang dia inginkan, maka dia dapat menukarnya dengan barang lain yang relative mudah untuk dijual kembali. Sehingga pedagang mulai menerima barang tertentu tidak untuk segera dikonsumsi, tetapi untuk dijual kembali karena barang ini dapat dengan mudah diterima oleh orang. Setiap barang dapat diterima dengan mudah secara umum dalam suatu perekonomian dapat berfungsi sebagai uang.
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Jadi dirham dan dinar merupakan alat standar ukuran yang di bayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada perbandingan dengan komoditas atau jasa, Karena segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya.
C.    Fungsi Uang
Uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu:
1.    Sebagai Alat Tukar
Suatu alat pertukar adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum untuk  pembayaran barang dan jasa. Dan Uang merupakan alat tukar yang digunakan oleh setiap individu untuk pertukaran komoditas dan jasa. Dan uang juga bisa dikatakan sebagai jalan tengah dalam proses pertukaran. Pada dasarnya, Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan komuditas atau barang dagang. Oleh karna itu, motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transakai.
Fungsi ini menjadi sangat penting dalam ekinomi maju, dimana pertukaran terjadi oleh banyak pihak. Seseorang tidak memproduksi setiap apa yang dibutuhkan, tetapi terbatas pada barang tertentu, atau bagian dari barang atau jasa tertentu, yang dijual kepada orang-orang untuk selanjutnya ia gunakan untuk mendapatkan barang atau jasa apa yang ia butuhkan. Dengan demikian, uang membagi proses pertukaran ke dalam dua macam:
a.    Proses penjualan barang atau jasa dengan pembayaran uang.
b.    Proses pembelian barang atau jasa dengan menggunakan uang.
2.    Sebagai Satuan Hitung
Yakni sebagai media pengukur nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas dan komoditas lainnya.
Karena komoditi.  seperti jagung dan tembakau, menjadi diterima secar luas, harga barang yang lain menjadi diukur atas dasar-dasar tersebut. Komoditas tersebut menjadi satuan hitung yang umum, suatu unit standar untuk menentukan harga. Misalnya apabila harga sepatu atau ember diukur dalam satuan banyaknya jagung, maka jagung bukan hanya sebagai alat pertukaran, tetapi juga menjadi ukuran nilai seluruh barang dan jasa lain.
Imam Ghazali mengisaratkan uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai harga komuditas dan harga. Ibnu Qudamah juga mengisaratkan fungsi uang sebagai alat ukur dan media pertukaran.
3.    Sebagai Penyimpan Nilai
Al-Ghazali berpendapat, dalam perekonomian barter sekalipu Uang dibutuhkansebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100 dinar dan kain senilai skian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi juga sebagai media pertukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar daraai pertukaran tersebut.
Maksud para ahli ekonomi dalam ungkapan mereka ”uang sebagai penyimpan nilai” adalah bahwa orang yang mendapatkan uang, kadang tidak mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi ia sisihkan sebagian untuk membeli barang atau jasa yang ia inginkan, atau ia simpan untuk hal-hal tak terduka seperti berobat ketika sakit atau menghadapi kerugian yang tak terduga.
Penyimpanan barang itu sendiri tentu sangat susah, karena ada yang tidak bisa bertahan lam, ada yang membutuhkan biaya tambahan dalam pemeliharaannya. Sedangkan uang berfungsi sebagai penyimpanan daya tukar dengan mudah. Demikianlah proses penjualan barang atau jasa dengan pembayaran uang jika tidak dilanjutkan dengan proses pembelian, tapi penyimpanan uang itu, yakni cukup dengan proses nilai barang (uang), jelas fungsi uang sebagia media penyimpan nilai.  Uang berperan sebagai penyimpan nilai bila dapat menyimpan daya beli selama waktu tertentu. Semakin besar kemampuan uang dalam menyimpan daya beli, maka semakin tinggi juga perannya sebagai penyimpan nilai.
Adapun pandanagan islam terhadap uang yaitu bahwasanya uang hanyalah sebagai alaat tukar, bukan komoditas atau barang dagangan. Oleh kerena itu motif permintaan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading.
Islam sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran. Salah satu bentuk pertuakran di zaman dahulu adalah barter, dimana barang saling dipertukarkan. Rasulullah saw. menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan dalam system pertukaran barter ini. Beliau ingin menggantinya dengan system pertukaran melalui uang. Oleh karena itu, beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Dalam islam tidak mengenal istilah money demand for speculation. Hal ini karena speculasi tidak diperbolehkan. Uang pada hakikatnya adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan kita dan masyarakat.
Di sisi lain seefektif apapun uang dapat berfungsi memfasilitasi perdagangan; konsep barter sesungguhnya juga tetap menjadi konsep perdagangan yang valid sepanjang zaman.
D.     Teori Pertukaran
Teori pertukaran terdiri dari dua pilar, yaitu:
1.    Objek pertukaran
Fiqh membedakan dua jenis obyek pertukaran, yaitu:
a.    ‘Ayn (real asset) berupa barang dan jasa.
b.    Dyn  (financial asset) berupa uang dan surat berharga.
2.    Waktu pertukaran
Fiqh membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:
a.    Naqdan  (immediate delivery) yang  berarti penyerah saat itu juga.
b.    Ghairu naqdan (deferren delivery) yang berarti penyerahan kemudian.
Dari segi objek pertukaran, dapat di identifikasi tiga jenis pertukaran, yaitu:
a.    Pertukaran real assest (‘ayn) dengan real asset (‘ayn).
b.    Pertukaran real asset (’ayn)  dengna financial asset (dayn).
c.     Pertukaran financial  asset (dayn)  dengna financial asset (dayn).
1)    Pertukaran ‘ayn dengan ‘ayn
a)    Lain jenis
Dalam pertukaran ‘ayn dengan ‘ayn, bila jenisnya berbeda (misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan jumlah beras) maka tidak ada masalah (dibolehkan).
b)    Sejenis
Namun bila jenisnya sama, fiqih membedakan antara real asset yang secara kasat mata dapat dibedakan mutunya dengan real asset yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya. Pertukaran kuda dengan kuda diperbolehkan karena secara kasat mata dapat dibedakan mutunya. Sedangkan pertukaran gandum dengan gandum dilarang karena secara kasat mata tidak daspat dibedakan mutunya.
Satu-satunya kondisi yang membolehkan pertukaran antara yang sejenis dan secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya adalah:
a)    Sawa-an bi Sawa-in (sama jumlahnya)
b)    Mitslan bi Mitslin (sama mutunya); dan
c)    Yadan bi Yadin (sama waktu penyerahannya)
Didalam hadis diberikan contoh barang-barang sejenis yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya, yaitu emas dan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, jagung gengan jagung, dan garam dengan garam.
2)    Pertukaran ‘ayn dengan dayn
Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis ‘ayn-nya. Bila ‘ayn-nya adalah barang, maka pertukaran ‘ayn dengan dayn disebut jual beli (al-bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka pertukaran itu disebut sewa-menyewa/upah-mengupah (al-ijarah).
Dari segi pembayannya islam membolehkan jual beli dilakukan secara tunai (now for now), bai’naqdan atau secara tangguh bayar (deferred payment, bai’ muajjal), atau secara tangguh serah (deferred delivery, bai’ salam). Bai’ muajjal dapat dibayar secara penuh (muajjal) atau secara cicilan (taqsith). Jual beli tangguh serah bisa dibedakan lagi menjadi: pertama, pembayaran lunas sekaligus di muka (bai’ salam); kedua, pembayaran dilakukan secara cicilan dengan syarat harus lunas sebelum barang diserahkan (bai’ istishna’).
Jual beli dapat dilakukan secara lazim tanpa si penjual menyebutkan keuntungannya. Akan tetapi dalam hal khusus, misalnya jual beli dengan anak kesil atau dengan orang yang akalnya kurang, jual beli dilakukan secara murabahah (dari akar kata ribhu yang berarti untung), yaitu si penjual menyebutkan keuntungannya. Dalam praktik perbankan syariah, akad murabahah lazim digunakan meskipun transaksinya tidak dilakukan dengan anak kecil atau orang yang akalnya kurang, karena teknik perhitungan keuntungan yang dilakukan bank terlalu rumit untuk difahami oleh masyarakat awam. Bank misalnya, menggunkan teknik perhitungan sliding, efektit, flat, progresif yang jangankan masyarakat awam, staf bank yang bersangkutan pun tidak semuanya paham.
Ijarah bila diterapan untuk mendapatkan barang disebut sewa-menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat orang lain disebut upah-mengupah. Ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung kinerja yang disewa (disebut ju’alah, success fee), dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ijarah, gaji dan sewa). Dalam praktik perbangkan, akad ijarah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyewa ruko.
3)    Pertukaran dayn dengan dayn
Dalam pertukaran dayn dengan dayn, dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan dayn yang tidak berupa uang (untuk selanjutnya disebut surat berharga). Pada zaman ini, uang tidak lagi terbuat dari emas atau perak. Sehingga uang saat ini adalah uang kartal yang trdiri dari uang kertas dan uang logam.
Yang membedakan uang dengan surat berharga adalah uang dinyatakan sebagai alat bayar resmi oleh pemerintah, sehingga setiap warga Negara wajib menerima uang sebagai alat bayar. Sedangkan akseptasi surat berharga hanya terbatas bagi mereka yang mau menerimanya.
Pertukaran uang dengan uang dibedakan menjadi pertukaran uang yang sejenis dengan pertukaran uang yang tidak sejenis. Pertukaran uang yang sejenis hanya dibolehkan bila memenuhi syarat: sawa-an bi sawa-in (same quantity), dan yadan bi yadin (same time of delivery).
Pertukaran uang yang tidak sejenis hanya dibolehkan bila memenuhi syarat yadan bi yadin (same time of delivery). Pertukaran yang tidak sejenis disebut sharf (money changer).
Jual beli surat berharga pada dasarnya tidak diperbolehkan. Namun bila surat berharga dilihat lebih rinci, dapat dibedakan  menjadi dua, yaitu surat berharga yang merupakan representasi ‘ayn, dan surat berharga berharga yang tidak merupakan representasi ‘ayn. Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya surat berharga yang merupakan representsi ‘ayn yang dapat dijua-belikan.
Secara terinci jual beli surat berharga dapat dibedakan menjadi:
1.    Penjualan kepada si pengutang yang dapat dibedakan lagi menjadi:
1.    Hutang yang pasti pembayarannya. Bagi mazhab hambali dan zahiri, transaksi ini boleh.
2.    Hutan gyang tidak pasti pembayarannya. Transaksi ini terlarang.
2.    Penjualan kepada pihak ketiga yang dapat dibedakan lagi menjadi empat pendapat:
3.    Kebanyakan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, beberapa ulama Hambali dan Zahiri secara tegas tidak membolehkan hal ini.
4.    Ibnu Taimiyah membolehkannya bila utangnya adalah utang yang pasti pembayarannya.
5.    Imam Siraji, Subki, dan Nawawi membolehkannya.
E.     Sistem Barter
Sebelum uang dikenal, perdagangan antar umat manusia mengandalkan Sistem Barter. Karena barter saat itu hanya dilakukan antar 2 belah pihak yang secara kebetulan saling membutuhkan barang atau jasa pihak lain, maka perdagangan tentu sulit untuk terjadi secara aktif. Hambatan perdagangan ini adalah karena kondisi yang disebut coincidence of wants (kebutuhan yang secara kebetulan saling sesuai) sebagai prasyarat terjadinya barter – tidak mudah terpenuhi.
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan “tukar ganti” (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yakni seperti halnya mata uang sekarang.
Sedangkan menurut Marllu Hurt, barter adalah pertukaran barang dengan barang, seperti telor drngan buah, kain dengan kranjang dan lembu dengan bulu.
Pada dasarnya sistem barter terbatas pada beberapa jenis saja. Tetapi lama kelamaansetelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, yakni:
1.     Mempunyai barang yang sama yang dibutuhkan.
2.     Mmbutuhkan apa yang kita tawarkan.
3.     Dengan nilai yang kira-kira sama atau dapat dibandingkan.
4.    Bersedia menukarkannya.
Sehingga sistem bbarter tersebut perlu direfisi, al-Ghozali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligu percetakan uang yang disebut Dar al-Darb (lembaga percetakan) berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
F.     Barter Uang dengan Uang
Pertukaran mata uang dengan mata uang serupa, atau penjualan mata uang dengan mata uang asing, adalah aktivitas as-sharf. Dimana aktivitas as-sharf tersebut hukumnya mubah. Sebab, as-sharf tersebut merupakan pertukaran harta dengan harta lain, yang berupa emas dan perak, baik yang sejenis maupun yang tak sejenis dengan bentuk dan ukuran yang sama dan boleh berbeda.
    Dari Abu Bakar berkata:
Rosullah SAW telah melarang membeli perak dengan perak, emas dengan emas kecuali setara harganya (dan telah terimanya langsung), dan memperintahkan kita untuk membeli perak dengan emas sesuka kita.
Mata uang kertas telah menjadi sarana perantara dalam tukar menukar. Dan telah menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Maka dari itu hukum tukar menukar uang juga tunduk pada peraturan as-asharf sebagaimana halnya emas dan perak. Ulama Syafi’iyyah dan yang lain membedakan: bila sejenis disebut murathalah dan bila deba jenis disebut as-asharf . Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-asharf.  Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
1.    Serah Terima Sebelum Al-Iftir.
Saat melakukan tukar menukar antara mata uang kertas, baik dengan jenis yang sama maupun dengan uang kertas yang berbeda, disyaratkan serah terima sebelu kedua belah pihak meninggalkan tempat transaksi. Dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu keduanya. Kalau tidak, maka transaksi tersebut hukumnya tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Rosuluallah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (r.a); Emas dengan emas, perak dengan perak, sama rata tangan ke tangan (kontan).
2.    Al-Tamatsul
Tidak boleh At-Tadfadhul (tidak sama rata) apabila dengan penukaran satu jenis namun, jika dengan jenis yang berbeda maka diperbbolehkan tafadhul. Misalkan menukarkan mata uang rupiah dengan rupiah, maka disyariatkan at-tamatsul dan di haramkan at-tafadhul. Namun jika menukarkan mata uang riupiah dengan dolar, maka tidak di syari’atkan at-tamatsul.
3.    Tidak Terdapat pada Akad Tersebut Khiyar As-sharf (syarat boleh membatalkan transaksi)
Apabila terdapat khiyar as-syart pada akat as-sharf, baik syarat tersebut dari sebelah pihak, maka menurut jumur ulam’, transaksi tersebut hukumnya tidak sah. Sebab salah satusahnya transaksi ini adalah serah terima, sementara khiyar as-syart menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Adapun ulama’ hambali berpendapat, bahwa as-sharf tetap dianggap sah. Sedangkan khiyar as-syart menjadi sia-sia(tidak sah)


DAFTAR PUSTAKA
  •  An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah Gusti, 1996.
  • Hasan, Ahmad. Mata Uang Islam, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
  • http://ekonomiislamkita.blogspot.com/2008/08/uang-dan-permintaan-uang-dalam-islam.html, (Sabtu, 08 Januari 2011)
  • http://id.shvoong.com/book/183490-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam, (Sabtu, 25 Desember 2010)
  • http://www.dinarislam.com/business-opportunity/barter-di-ekonomi-modern-mungkinkah.html. (Sabtu, 08 Januari 2011)
  • Huda Nurul. Nasution, Mustofah Edwin. Idris, Hadi Risza. Wiliasih, Ranti. Ekonomi Marko Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
  • Karim, Adi Warman. Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2004.
  • Karim, Adiwarman.A. Ekonomi islam Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
  • Nasution, Mostofah Edwin. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
  • Rusli, Karim.R. Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2000.
  • Safi’i Antono, Ahmad. Bank Syariah: dari Teori Kepraktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
  • Triandaru, Sigit. Ekonomi Makro: pendekatan kontemporer, Jakarta: Selemba Empat, 2000.
  • Wijaya, Farid, Perkriditan, Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan, Jokyakarta: BPFE –Yogyakarta, 1999.
  • www.asysyariah.com, (Sabtu, 25 Desember 2010)
  • Zaky al-Kaaf, Abdullah. Ekonomi dalam Persepektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Kamis, 18 September 2014

Distribusi Dalam Ekonomi Islam


A. Pengertian Distribusi
Distribusi adalah suatu proses (sebagian hasil penjualan produk) kepada faktor-faktor produk yang ikut menentukan pendapatan . Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan distribusi adalah penyaluran barang ketempat-tempat.
Menurut Collins distribusi adalah proses penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, diantaranya melalui perantara. Definisi yang diungkapkan oleh Collins memiliki pemahaman yang sempit apabila dikaitkan dengan tujuan ekonomi islam. Hal ini disebabkan karena definisi tersebut cenderung mengarah pada perilaku ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi diatas dapat ditarik suatu pemahaman, dimana dalam distribusi terdapat proses pendapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimilki oleh negara.
 Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat
Jadi konsep distribusi menurut pandangan islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja  serta dapat memberikan kontribusi kearah kehidupan manusia yang baik

B. Tujuan Distribusi   
Semua pribadi dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar dapat kita lihat beberapa tujuan ekonomi islam yaitu sebagai berikut:
1. Islam menjamin kehidupan tiap pribadi rakyat serta menjamin masyarakat agar tetap sebagai sebuah komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Islam menjamin kemaslahatan pribadi dan melayani urusan jamaah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
3. Mendistribusikan harta orang kaya yang menjadi hak fakir miskin, serta mengawasi pemanfaatan hak milik umum maupun negara.
4. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan berdasarkan jalan Allah agar tercapai maslahah bagi seluruh masyarakat.

C. Nilai Yang Ada Dalam Distribusi Ekonomi Islam
Dalam menjalankan disrtibusi ada beberapa nilai yang ada diantaranya:
1. Akidah
Akidah mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai dampak yang kuat dalam cara berpikir seseorang. Akidah begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengendalikan manusia agar mau mengikuti ajaran yang diembannya.
2. Moral
Moral berasal dari kata moralis. Disini moralitas menunjuk kepada perilaku manusia itu sendiri.  Hukum yang berlaku pada moralitas berbeda dengan hukum formal. Pada hukum formal memberi sanksi jika melanggar. Akan tetapi hukum moral tidak tetapi menembus kedalam sehingga melihat hal yang bersifat niatnya saja. Misalnya dalam kasus orang yang bersedekah, hukum moral memandang niat dari sedekah ini. Jika niatnya baik demi menolong orang yang lemah maka sedekah ini baik dan berarti pula sama persis dengan nilai moral. Tapi jika niatnya jelek hanya untuk riya’ (show belaka) maka sedekah demikian dianggap salah dan divonis sebagai tindakan yang tidak berakhlakul karimah.
3. Hukum Syariah
Dengan adanya hukum syariah agar dalam menjalankan kegiatan ekonomi ada batasannya yaitu sesuai dengan jalan Al-Quran dan sunnah. 
4. Keadilan
Keadilan merupakan nilai yang paling asasi dalam ajaran islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul-Nya (QS 57:25). Dengan berbagai muatan adil tersebut secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-Quran, maka hal ini bisa diturunkan menjadi berbagai nilai turunan yaitu:
a) Persamaan Kompensasi
Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum yaitu seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan . Komponen yang ada dalam kompensasi tersebut antara lain: upah dan ongkos.
b) Persamaan Hukum
Persamaan hukum disini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang didepan hukum atas dasar apapun juga. Dalam transaksi ekonomi tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain karena kondisi yang berbeda.  Kesejahteraan dan hasil pembangunan harus didistribusikan kepada orang dan tidak mengumpul pada kelompok tertentu.
c) Proporsional
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsinal, baik dari sisi kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang telah diberikan seseorang. Suatu distribusi yang adil tidak selalu harus merata, namun tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada, mereka yang ukurannya besar perlu memperoleh besar dan yang kecil memperoleh jumlah yang kecil pula.

D. Mekanisme Distribusi
Masalah ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok (al-hajatu al-asasiyah) untuk semua pribadi manusia tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan pokok merupakan persoalan distribusi kekayaan. Dalam mengatasi persoalan distribusi tersebut harus ada pengaturan menyeluruh yang dapat menjamin terpenuhi seluruh kebutuhan pokok pribadi, serta menjamin adanya peluang bagi setiap pribadi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Dalam persoalan distribusi kekayaan yang muncul, islam melalui sistem ekonomi islam menetapkan bahwa berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme distribusi yang ada dalam ekonomi islam secara garis besar dikelompokan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu: mekanisme ekonomi dan mekanisme nonekonomi.
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan mengandalkan kegiatan ekonomi agar tercapai distribusi kekayaan. Mekanisme ini dijalankan dengan cara membuat berbagai ketentuan dan mekanisme ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan.  Dalam menjalankan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi yang ditempuh pada sistem ekonomi islam diantaranya manusia yang seadil-adilnya dengan cara berikut:
a. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik (asbabu al-tamalluk) dalam hak milik pribadi (al-milkiyah al-fardiyah).
Dalam islam telah ditetapkan sebab-sebab utama seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan hak milik pribadi.  Hak milik pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi–baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain (seperti disewa) ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dari barang tersebut. Oleh karena itu, setiap orang bisa memiliki kekayaan yang ada di bumi.  Dalam hal ini islam mengikatkan kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik pribadinya dengan ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain atau mengganggu kemaslahatan umum. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedang penganiayaan itu dilarang oleh nash Alquran.
Salah satu upaya yang lazim dilakuakan manusia untuk memperoleh harta kekayaan adalah dengan bekerja. Islam menetapkan adanya “bekerja” bagi seluruh masyarakat. Maka dari tiu “ bekerja” menurut islam adalah sebab pokok yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memiliki harta kekayaan.
Az-Zein mengatakan bahwa dengan memahami hukum-hukum syara’ yang menetapkan bahwa bentuk pekerjaan tersebut tampak jelas, bahwa bentuk-bentuk pekerjaan yang diisyaratkan, sekaligus dapat dijadikan sebab hak milik harta adalah pekerjaan-pekerjaan sebagi berikut:
1) Bekerja disektor jasa (ijarah);
2) Bekerja sebagai broker/makelar;
3) Bekerja sebagai pengelola (mudharib) pada perseroan (syarikah) mudharabah;
4) Bekerja mengairi lahan pertanian (musaqat);
5) Menghidupan tanah mati;
6) Menggali kandungan bumi.
b. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
Pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) adalah mekanisme yang digunakan seseorang untuk mendapatkan tambahan hak milik tersebut. Karena islam mengemukakan dan mengatur serta menjelaskan satu mekanisme untuk mengembalikan hak milik. Maka pengembangan hak milik tersebut harus terikat dengan hukum-hukm tertentu yang telah dibuat syara’ dan tidak boleh dilanggar ketentuan-ketentuan syara’ tersebut.
Kalau kita amati berbagai macam bentuk harta kekayaan yang ada dalam kehidupan, maka dapat kita kelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Harta berupa tanah; 2) Harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang (jual-beli); 3) Harta yang diperoleh dengan cara mengubah bentuk dari satu bentuk kebentuk yang berbeda.  Dalam hal transaksi jual beli maupun produksi ada bebrapa saluran distribusi yang ada didalmnya yaitu:
1. Produsen ------------------------------------------------ konsumen
2. Produsen -------------------------- pedagang eceran ---- konsumen
3. Produsen --------------- grosir ---- pedagang eceran ---- konsumen
4. Produsen ---- Agen ---- grosir ---- pedagang eceran ---- konsumen
Dari sinilah kita ketahui teknik yang digunakan oleh orang-orang mengembangkan untuk harta kekayaan yang kesemuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.
c.    Laranagn menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonominya. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Dijelaskan Al Badri bahwa islam mengharamkan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya, dan mewajiban pembelanjaan terhadap harta tersebut, agar ia beredar ditengah-tengah masyarakat sehingga dapat diambil manfaatnya. Penggunaan harta benda dapat dilakukkan dengan mengerjakan sendiri ataupun bekerja sama dengan orang lain dalam suatu pekerjaan yang tidak diharamkan. Ada banyak hal larangan dalam Alquran diantarnya, yaitu melarang usaha penimbunan harta, baik emas maupun perak karena keduanya merupakan standar mata uang. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ayat tersebut muncul adanya penimbunan uang, bukan adanya akibat saving uang. Sebab saving tersebut tidak akan menghentikan roda perekonomian. Sebaliknya penimbunanlah yang justru menghentikannya.
Perbedaan antara penimbunan dengan saving adalah, bahwa kalau penimbunan berarti mengumpulkan uang satu dengan uang yang lain tanpa ada kebutuhan, dimana penimbunan tersebut akan menarik uang dari pasar. Sementara saving adalah menyimpan uang karena adanya kebutuhan, semisal mengumpulkan uang untuk membangun rumah, untuk menikah, memperbaiki bisnis ataupun untuk keperluan yang lain. 
d. Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
Islam menganjurkan agar harta benda beredar diseluruh anggota masyarakat, dan tidak beredar dikalangan tertentu, sementara kelompok lain tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrasturktur. Untuk merealisasikan hal ini maka negara menjadi fasilisator antara orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan berkesempatan untuk mengerjakan dan mengembangkan hartanya dengan pengelola yang professional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam perseroan.
Selain itu negara dapat juga memberikan pinjaman modal usaha. Dan pinjaman tidak dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat juga diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar tidak terbebani oleh pengembalian pinjaman tersebut.
Cara lain yang dilakukan adalah dengan menyediakan berbagai fasilitas seperti jalan raya , pelabuhan, pasar dan lain sebagainya.
e. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagi penipuan yang dapat mendistorasi pasar.
Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang merupakan jenis hak milik pribadi (private property). Sebab dengan adanya monopoli, maka seseorang dapat menentukan harga jual produk tidak sesuai dengan pasarnya, sehingga dapat merugikan kebanyakan orang dimuka umum. Bahkan negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam penetapan harga jual suatu produk yang ada dipasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan harga pasar. Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang mengatakan:
“Bahwa ada seseorang laki-laki datang lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah tetapkan harga ini .’ Beliau menjawab: ‘(Tidak) justru, biar saja.’ Kemudian beliau didatangi laki-laki yang lain lalu mengatakan : ‘Wahai Rasulullah, tetapkan harga ini’ Belaiu menjawab . (Tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkannya. Pematokan harga secara sepintas tampaknya baik dan bisa memberi kemaslahatan bagi rakyat secara keseluruhan. Akan tetapi, dengan pengamatan yang lebih mendalam pematokan harga tersebut akan berdampak munculnya pasar-pasar gelap. Dalam kondisi paceklik akan mendorong kaum kaya untuk berlomba-lomba memborong barang kemudian menjual dipasar gelap dengan harga yang bisa mereka kendalikan sendiri. Akibatnya harga barang akan semakin membumbung naik tanpa bisa dikendalikan lagi. Hal itu menyebabkan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan terus tercekik.
Akan tetapi berbeda dengan berbagai produk yang termasuk milik umum islam memperbolehkan adanya monopoli oleh negara. Namun monopoli oleh negara bukan berarti negara dapat menerapkan harga sebebas-bebasnya demi mengejar keuntungan semata. Namun negara justru berkewajiban menyediakan berbagai produk tersebut dengan harga serendah-rendahnya.
Masalah lain yang dilarang oleh islam adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual produknya dengan harga sangat murah, padahal harga yang ada dipasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Abdullah Ibn Umar r.a meriwayatkan berkata:
“Kami pernah menyambut orang-orang yang datang membawa hasil panen dari luar kota lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah Saw melarang kami membelinya sampai hasil panen tersebut di bawa ke pasar”    
f. Laranagn kegiatan judi, riba, korupsi pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
Judi dan riba merupakan penyebab utama uang hanya akan bertemu dengan uang (bukan dengan barang dan jasa) dan beredar diantara orang kaya saja karena islam melarang serta mengharamkan akktivitas tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”Berkitan dengan riba Allah Swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. Dari penggalan ayat Al-Quran tersebut dapat dilihat bahwa riba mempunyai banyak bahaya dintaranya:
1. Menumbuhkan egoisme individu
2. Merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi
3. Merusak tatanan ekonomi 
Sementara korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa mengakibatkan harta hanya beredar diantara orang-orang yang sudah berkecukupan. Hal ini merupakan penyebab rusaknya sistem distribusi kekayaan. Berkaitan dengan suap menyuap Rasululullah bersabda:
“Allah Swt melaknat penyuap, penerima suap dan menjadi perantara suap menyuap” (HR Ahmad)
Seorang pejabat yang menduduki suatu jabatan khusus dilarang menerima hadiah dari pihak manapun. Hal demikian tidak boleh seorang pegawai atau pejabat yang sedang mengerjakan tugasnya menerima komisi.sementara dia telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya.
g.    Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang dari SDA milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Dengan disiplinnya pengelolaan dan pemanfaatan harta-harta yang menjadi milik umum, maka hasilnya dapat didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara cuma-cuma atau dengan harga yang murah.  Dan jika terjadi kenaikan harga harus megikuti kenaikan pendapatan rata-rata penduduk. Dalam islam adanya tingkat harga yang wajar atau adil bukan sebuah keringanan melainkan hak fundmental yang dijamin hukum negara.
2. Mekanisme Nonekonomi
Didukung oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memilki faktor-faktor tersebut. Dengan ekonomi biasa, maka distribusi kekayaan tidak akan berjalan dengan baik karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti aturan kegiatan ekonomi secara normal sebagimana orang lain. Bila dibiarkan maka orang-orang itu tergolong tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpuruk secara ekonomi. Oleh karena itu agar tercapai keseimbangan dan kesetaraan ekonomi maka dapat dilakukan hal-hal berikut:
a.    Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan
Pemberian harta negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan secara merata. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diberikan secara langsung ataupun tidak langsung dengan jalan memberi berbagai sarana fasilitas sehingga pribadi dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mengenai berbagai pemenuhan kebutuhan hidup contohnya negara memberi sesuatu kepada pribadi atau masyarakat yang mampu mngerjakan lahan, maka negara akan memberikan lahan yang menjadi milik negara kepada pribadi yang tidak mempunyai lahan tersebut atau negara memberikan harta kepada pribadi yang mempunyai lahan tetapi tidak  mempunyai modal untu menegelolanya.   
b.    Zakat
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme nonekonomi dalam hal distribusi zakat. Zakat adalah ibadah yang dapat dilaksanakan oleh para muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapapun yang termasuk muzakki untuk membayar zakatnya.
Dari harta zakat tersebut kemudian dibagikan kepada golongan tertentu , yakni delapan asnaf seperti yang telah disebutkan dalam Alquran. Allah berfirman:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.Jadi zakat merupakan ibadah yang berperan dan berdampak ekonomi , yakni berperan sebagi instrument distribusi kekayaan diantara manusia.
c.    Warisan
Ketika mati orang meninggal itu tidak lagi memiliki hak apa-apa atas badan dan hartanya. Sekalipun harta tersebut milik si mayit, tetapi ketika mati ia tidak berhak memberikan kepada siapa saja sesuka dia. Wasiat menyangkut harta kepada selain ahli waris hanya diperbolehkan paling banyak sepertiga bagian saja. Dengan cara ini akan berlangsung peredaran harta milik mayit kepada ahli warisnya. Dan ahli waris bisa mendapatkan harta tanpa melalui ekonomi biasa.
Pribadi ahli waris dapat memperoleh harta dengan mendapatkan warisan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah nash al-quran yang penunjukannya secara qathiy. Waris mempunyai hukum-hukum tertentu yang sifatnya tauqify yakni suatu ketentuan hukum yang bersifat dari Allah Swt. Hukum waris juga tidak disertai illat (sebab ditetapkan hukum) apapun. Nash-nash Alquran telah menjelaskan hukum-hukum waris dalam bentuk rinci: Allah Swt telah menyatakan dalam firmannya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.d.    Shadaqah
Dalam distribusi non ekonomi kita juga mengenal distribusi pendapatan yang berada dalam konteks rumah tangga.  Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak lepas dari terminologi shadaqah. Pengertian shadaqah disini bukan berarti sedekah dalam pengertian bahasa Indonesia. Karena shadaqah dalam kontek terminologi Alquran dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu shadaqah wajibah yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrument distribusi pendapat berbasis kewajiban. Untuk kategori ini bisa berarti kewajiban personal seseorang sebagai muslim, seperti warisan dan bisa juga berarti keawajiban seorang muslim dengan muslim yang lain. Kedua: shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrument distribusi pendapatan berbasis amal karikatif, sedekah. Sedekah tersebut antara lain yaitu:
Pertama : Shadaqah wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1) Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan kebutuhan yang diberikan kepada pihak atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. Nafkah tersebut ditujukan untuk enam kelompok: diri sendiri, istri, saudara, pembantu wanita, budak dan hewan peliharaan.
2) Udhiyah: Kurban binatang ternak pada saat hari raya idul adha dan hari tasyirik
3) Musaadah: Bantuan kepada orang lain yang sedang terkena musibah, tanpa ada pamrih apapun.
4) Jiwar: Bantuan yang diberikan kepada tetangga, hal ini dianjurkan oleh nabi seperti diungkapkan dalam hadis berikut “ barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hormatilah tetanggamu.”
5) Diyafah: kegiatan memberikan jamuan kepada tamu yang datang.
Kedua: Shadaqah Nafilah (sunnah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1) Infaq: Sedekah yang diberikan kepada orang lain jika kondisi keuangan rumah tangganya sudah berda diatas nisab. Jadi seseorang muslim tidak dituntut untuk mendistribusikan hartanya untuk infaq sebelum memenuhi kewajiban membayar zakat.
2) Aqiqah: Kegiatan pemotongan kambing untuk anak yang dimikinya (dilahirkannya), satu ekor untuk anak perempauan dan dua ekor untuk anak laki-laki.
3) Wakaf: Menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran islam.
4) Wasiat : Pendistribusian harta kepada orang lain setelah pemilik harta tersebut meninggal, makksimal 1/3 harta yang ditinggalkan (warisan)
Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non ekonomi.
e. Ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain
Distribusi harta dapat juga terjadi karena adanya ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorang. Seseorang bisa mendapatkan harta tanpa harus mengeluarkan curahan harta tenaga karena dia mendapat ganti rugi sebagai akibat kemudaharatan yang dilakukan orang lain kepadanya.  Kegiatan tersebut antara lain:
1) Kafarat: Tebusan terhadap dosa yang dilakukan oleh orang muslim, semisal melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Salah satu pilihan hukuman adalah memberikan makan fakir miskin sebanyak 60 orang.
2) Dam/diyat: tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melakukan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji. Tarifnya setara dengan seekor kambing.
3) Nudzur: perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan ridha Allah Swt atas keberhasilan pencapaian sesuatu yang menjadi keinginannya. Sipelaku dapat menentukan sendiri.
f. Barang Temuan
Salah satu bentuk distribusi harta secara nonekonomi adalah penguasaan seseorang atas harta temuan sehingga apabila ada seseorang telah menemukan suatu barang dijalan atau disuatu tempat umum, maka harus diteliti terlebih dahulu: apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkkan. Misalnya emas, perak, permata dan pakaian, maka barang tersebut harus disimpan dan diumumkan untuk dicari siapa pemiliknya. Jika selama dalam pengumuman ada pemiliknya yang datang maka harta tersebut harus diserahkan. Akan tetapi jika tidak ada yang datang atau tidak ada yang dapat membuktikan bahwa harta tersebut memang miliknya maka harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan dan harus dikeluarkan khums (1/5) dari harta tersebut sebagai zakatnya.

__________________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hanif, Rifkky dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Kurnia

An-Nabahan ,M Faruq.Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: UII Press Yoyakarta, 2002
Chapra, M Umar dkk. Etika Ekonomi Politik.Surabaya: Risalah Gusti,1997
Ilmi, Makhalul.Teori dan Praktek Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta: UII   Press Yoyakarta, 2002
Haider Naqvi, Syed Nawab.Menggagas Ilmu Ekonomi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Nasutin, Mustafa Edwin dkk.Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006
Nawawi, Ismail.Ekonomi Islam. Surabaya: Cv. Putra Media Nusantara, 2009
Pusat Pengkajian dan Pengambangan ekonomi (P3EI).Ekonomi Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2008
Rahardjo, M Dawam..Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Pt.tiara Wacana1990
Sholahuddin, Muhammad.Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo. 2007
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara,1991
http:sescipb.co.cc/index.php?option=com conten&view=article&id=53:distribusi-pendapatan&catid=39:makro&itemid=54
http://p3ei.blogdetik.com/distribusi-pendapatan/
http://dansite.wordpress.com/2009/03/25/pengertian-distribusi/
http://kanal3.wordpress.com/2010/05/20/%E2%80%9Cstudy-hadits-ekonomibagaimanakah-konsep-distribusi-dalam-islam/


Sabtu, 19 Januari 2013

Konsumsi Dalam Ekonomi Islam


A. Pengerrtian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
 
B. Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
 
C. Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.  Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.
Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja.” Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.
 
D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
4. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.
 
E. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an  mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari
 
F.Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
a. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
b. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua
c. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
 
G. Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5. Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
 
H. Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:
1. Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.  
2. Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
4. Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
5. Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.
6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
 
I. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang  terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,  keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
 
J. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvensional
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya.
 
K. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian kapital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga


DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), 2006
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press, 2006
Joesron, Tati Suhartati.  Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia, 2003
Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro. Yogyakarta: BPFE, 1998
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Muhammad Zulifan, “Seri Ekonomi Islam: Konsep Kebutuhan (1)”, dalam
http://muhammadzulifan. Multiply.com/journal/item/14 (17 Maret 2010)

Minggu, 13 Januari 2013

Prinsip Produk Ekonomi Islam


A. Pengertian Produksi
Dalam literatur ekonomi islam berbahasa arab produksi adalah “Intaj” dari kata Nataja  .Dr. Muhammad Rawwas Qalahji juga memberikan padangan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata “Al-Intaj” yang secara harfiyah dimaknai dengan Ijadu Sil’atin “mewujudkan atau mengadakan sesuatu” atau khidmatu mu’ayyanatin Bi Istikhdami Muzayyajin Min ‘Anashir Al-Intaj Dhamina Itharu Zamanin Muhaddadin “pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas”.
Taqiyuddin An-Nabhani”, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata  istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab.
An-Nabhani dalam bukunya ‘An-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam” memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan As-Sunnah.  Sebab, Rasulullah SAW pernah membuat cincin.
Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi SAW telah membuat cincin.” HR. Imam Bukhari.
Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi SAW telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” HR. Imam Bukhari. Beliau juga pernah membuat mimbar.
Dari Sahal berkata: “Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang wanita, kata beliau. Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” HR. Imam Bukhari.
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang. Dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan “taqrir” beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka . Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.
Sumber-sumber daya alam yang diciptakan allah sangat penting. Dalam sistem ekonomi islam kata produksi merupakan salah satu kunci terpenting. Pentingnya melakukan produksi adalah sebagai berikut:
1. karena produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia.  Al Qur’an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi.  Salah satu diantaranya adalah diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan agar tidak mengalami kegagalan atau tertinggal dalam berjuag demi kelangsungan hidupnya.
2. Allah telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Sebagai khalifah di Bumi Manusia diberikan kebebasan dalam mengelola kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memperbaiki keadaan ekonomi individu dan masyarakat manusia, dalam mengelola kekayaan telah diberikan batasan yang jelas dalam nilai-nilai ajaran Islam .Sistem ekonomi islam menyediakan beberapa landasan teoritis sebagai berikut:
a. Keadilan ekonomi “Al-‘Adalah Al-Iqtisadiyah”.
b. Jaminan sosial “At-Takaful Ijtima’”.
c. Pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi produktif secara efisien.

B. Prinsip-Prinsip Produksi
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim  dilakukan untuk mencari ”falah” kebahagiaan demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah  tersebut. Di bawah ini ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses produksi yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya ”Nizam Al-Islami Al-Iqtisadi:  Mabadi Wa Qawa’id ‘Ammah  dan beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain :
1. Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami.
Sejak dari kegiatan mengorganisir faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan  manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandang  bermanfaat untuk mencapai falah,  yaitu : 1. kehidupan, 2. Harta, 3. Kebenaran, 4. Ilmu pengetahuan dan 5. Kelangsungan keturunan. Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas ”Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah” dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya.
2. Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas sekumpulan yang tercela karena bertentangan dengan syari’ah “haram”.
Dalam sistem ekonomi islam tidak semua barang dapat diproduksi atau dikonsumsi. Islam dengan tegas mengklasifikasikan barang-barang “silah” atau komoditas dalam dua katgori:
a. Barang-barang yang disebut Al-Qur’an Thayyibat  yaitu barang-barang yang secara hukum halal dikonsumsi dan diproduksi.
b. Khabaits adalah barang-barang yang secara hukum haram dikonsumsi dan diproduksi. Seperti penegasan Al-Qur’an dalam Surat Al-Araf Ayat 157:
“…..Dan mengahalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan menghalalkan bagi mereka yang buruk…..”
3. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, dan  memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dn wakaf.
 Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga nerhak  menikmati hasil produksi  secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen saja, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi  keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
4. Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah pada kezaliman. Seperti riba dimana kezaliman menjadi illat hokum bagi haramnya riba.
Penegasan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279, melandasi pandangan ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan meninggalkan sisa riba, Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Seperti dijelaskan di atas, kezaliman merupakan illat bagi haramnya riba, dan riba secara bertahapdapat menghilangkan keadialan ekonomi, yang merupakan ciri khas ekonomi islam, dan berdampak negative bagi perekonomian umat. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah merumuskan empat kejahatan ekonomi yang diakibatkan riba yaitu:
1. Riba dapat mengakibatkan atau menimbulkan permusuhan antara pelaku ekonomi yang akibatnya mengancam semangat kerja sama antar mereka.
2. Riba dapat mengakibatkan milyuner-milyuner baru tanpa kerja, sebagaimana riba dapat mengakibatkan penumpukkan harta pada mereka.
3. Riba adalah senjata penjajah, dari itu dikatakan:  Penjajah berjalan di balik pedagang dan pendeta. Dan kita sudah merasakan betapa riba menjajah dan memporakporandakan negara kita.
4. Karena itu islam menganjurkan seseorang meminjamkan harta kepada saudaranya tanpa di iringi dengan bunga, lalu Allah akan membalas dengan pahala yang banyak.
Madharat atau kerusakan yang diakibatkan kerja ekonomi ribawi dapat merusak dan merugikan ekonomi pribadi, rumah tangga, perusahaan. Lebih berbahaya lagi ketika kebijakan pemerintah yang menghandalkan hutang luar negeri dengan dalil kepentingan rakyat, seperti yang dialami rakyat saat ini.
5. Permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia. Sikap tersebut dalam Al-Qur’an sering disebut  sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap nikmat Allah.
6. Segala bentuk penimbunan “Ikhtikar” terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat adalah dilarang sebagai perlindungan syari’ah terhadap konsumen dari msyarakat. Pelaku penimbunan, menurut Yusuf Kamal mengurangi tingkat produksi untuk mengusai pasar, sangat tidak menguntungkan bagi konsumen dan masyarakat karena berkurangnya suplai dan melonjaknya harga barang. Hal ini menurut qayyim sama dengan kezaliman yang dikutuk Allah.
7. Memelihara lingkungan. Manusia memiliki keunggulan jadi manusia dibumi ditunjuk sebagai wakil “Khalifah Fil Ardh” tuhan dibumi bertugas menciptakan kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya, “Imar Al Ard” yang dalam perspektif ekonomi islam dapat di uraikan sebagai berikut:
Pertama “setiap manusia adalah produsen, untuk menghasilkan barang-barang dan jasa yang dalam prosesnya bersentuhan langsung dengan bumi sebagai faktor utama produksi”.  Kedua “Bumi selain sebagai faktor produksi, juga berfungsi mendidik manusia mengingat kebesaran Allah”.  Ketiga “sebagai produsen dalam dalam melakukan produksi tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan hidup”.
Jadi landasan-landasan moral dalam islam seperti syarat-syarat produksi dalam islam tidak boleh mengandung Al-khabaits, keji, zalim, dan ihtikar. Dalam hal ini akan membawa implikasi  bahwa prinsip produksi  bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif islam bersifat (Alturistik) sehingga produsen tidak  hanya mengejar keuntungan  maksimum saja. Akan tetapi produsen harus memperhatikan dampak sosial sebagai akaibat atas proses produksi yang dilakukan. Dan produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu ” falah” didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan  bagi masyarakat. Prinsip pokok produsen yang Islami  yaitu : 1. Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan, 2. Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini , 3. Optimasi keuntungan diperkenankan  dengan batasan kedua prinsip di atas.
C. Tujuan-Tujuan Produksi
Beberapa ahli ekonomi silam mengungkapkan tujuan-tujuan produksi menurut islam adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin seseorang mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah. Dan sebagai sarana untuk mencapai tujuanya di hari kiamat kelak.
Menurut M.N Sidiqi dalam perusahaan dan pertumbuhan ekonomi dalam islam menegaskan beberapa tujuan badan usaha, yaitu:
a. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar.
b. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan keluarga.
c. Bekal untuk generasi mendatang.
d. Merespon kebutuhan produsen secara pribadi yang memiliki ciri keseimbangan.
e. Bekal untuk anak cucu.
f. Bantuan kepada masyarakat atau berinfaq, dalam rangka beribadah kepada Allah.
Dan Sidiqi mengarahkan upaya untuk mengukuhkan setiap tujuan produksi ini dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan juga Ibnu khaldun dan beberapa ulama’ lain berpendapat, bahwa kebutuhan manusia dapat di golongkan kedalam tiga kategori, yaitu: dharuriat “primer”, hajiat “skunder”, dan kamaliat “tersier”.
Dalam terminologi islam Dharuriat adalah kebutuhan yang secara mutlak tidak dapat dihindari, karena merupakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendasar, bersifat elastis bagi kehidupan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi dapat dibagi dalam dua tujuan  utama, yaitu:
1. Kebutuhan Primer dalam Individu. Para Fuquhah menetapkan hukum “fardhu‘ain” bagi setiap muslim. Untuk mengetahui primer bagi seorang muslim.  Dapat merunjuk pada beberapa nas Al-Qur’an, seperti dikemukakan Abdurrahman Al-Maliki.
a. Al-Baqarah 2: 233.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan kekayaan kepada para ibu dengan ma’ruf.”
b. An-Nisa’ 4: 5
“Dan berilah mereka belanja dan Pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
2. Kebutuhan primer bagi seluruh rakyat. Islam menetapkan bahwa negara berkewajiban menjamin pengaturanya. Al Mawardi dan Abu Ya’la dalam kitab mereka Al-Ahkam Al-Sultaniyah menyebutkan bahwa khalifah atau kepala negara berkewajiban membangun proyek-proyek seperti: Jembatan, jalan raya, irigasi, termasuk juga pengobatan, keamanan, dan pendidikan seperti yang disabdakan Rasulullah dalam satu hadis:
”Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapat kedaan aman kelompoknya, sehat badanya, memiliki bhan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dimilikinya”.
D. Faktor-Faktor Produksi
Dalam islam modern belum ada kesepakatan pendapat mengenai faktor- faktor produksi. Karena menurut  Abdul Hasan Muhammad Sadeq, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis tidak menjekaskan masalah ini secara eksplisit.
Perbedaan pandangan semakin tajam ketika mereka memperbincangkan modal sebagai faktor produksi, karena apabila modal mencakup sejumlah alat dan uang maka yang pertama akan menghasilkan sewa. Oleh karena itu menurut M. A Mannan modal menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi islam sebagai sarana produksi yang menghasilakan tidak sebagai faktor produksi pokok melainkan melainkan sebagai perwujudan tanah dan tenaga kerja. Adapun faktor-faktor produksi itu terbagi atas enam macam, yaitu:
a. Tanah dan segala potensi ekonomi, di anjurkan Al-Qur’an untuk di olah, dan    tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.
b. Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.
c. Modal, juga terlibat langsung dengan proses produksi. Karena pengertian modal mencakup pengertian produktif yang mengahsilakan barang yang di konsumsi.
Manajemen, karena ada tuntutan leadership dalam islam.
d. Teknologi.
E. Kaidah-Kaidah Produksi
Dalam ekonomi konvensional, seseorang diberikan hak untuk memproduksi segala sesuatu yang dapat mengalirkan keuntungan kepadanya, meskipun hal itu kontradiksi dengan kemaslahatan material dan moral masyarakat.
Adapun dalam ekonomi islam, seseorang produsen muslim harus komitmen dengan kaidah-kaidah syari’ah untuk mengatur kegiatan ekonominya. Dimana tujuanya pengaturan ini adalah untuk keserasian antara kegiatan ekonomi dalam kehidupan untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan bentuk-bentuk kemaslahatan, dan menangkal bentuk-bentuk kerusakan.
Dalam fiqih ekonomi Umar r.a kaidah-kaidah produksi yang terpenting di antaranya adalah:
1. Kiadah Syariah
Yang dimaksudkan dalam kaidah syariah disini bukan dari sisi halal dan haram saja. Akan tetapi mencakup tiga sisi:
a. Akidah adalah keyakinan seseorang muslim bahwa aktifitasnya dalam bidang perekonomian merupakan bagian daru perananya dalam kehidupan.
”kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
b. Ilmu yakni seorang muslim wajib mempelajari  hukum-hukum syari’ah yang berkaitan aktifitas perekonomianya, sehingga dia mengetahui apa yang benar dan yang salah di dalamnya.  Sepeti dalam penafsiran firman Allah surat An- Nisa’: 4
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
c. Amal yakni merupakan hasil aplikasi terhadap sisi aqidah dan sisi ilmiah yang dampak dalam kualitas produksi yang dihasilkan oleh seseorang muslim dan dilemparkanya kepasar.
Sesungguhnya kualitas produksi dalam ekonomi konvensional adalah berkaitan dengan kondisi permintaan yang di dukung oleh daya beli.
Sedangkan dalam ekonomi islam, kualitas produksi tunduk terhadap hukum syariah. Oleh karena itu, apa yang diperoleh syariah baik.
F.Tanggung Jawab Sosial Produksi Ekonomi Islam Terhadap Masyarakat
Dalam tanggung jawab sosial, seseorang (secara moral) harus mampu mempertanggung-jawabkan perbuatannya terhadap masyarakat apabila melakukan perbuatan tercela. Tanggung jawab sosial ini diiringi norma-norma sosial, karenanya rasa malu dalam diri seseorang dapat memperkuat tanggung jawab sosialnya. Karakteristik tanggung jawab pekerjaan ialah hasil pekerjaan barang atau jasa perlu dijaga mutunya supaya jangan sampai mengecewakan konsumen. Untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, perlu peningkatan kualitas pekerjanya itu sendiri, karena ia merupakan pelaku utama dalam menghasilkan produk bermutu. Artinya, dalam lapangan pekerjaan, produk barang bermutu dan pekerja yang memiliki SDM tinggi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Lebih jauh lagi, pekerja berkualitas adalah pekerja yang beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, penuh dedikasi dan tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan (skill) dalam bidang garapannya.
Di samping itu, dibutuhkan tanggung jawab kuantitas perhitungan angka (accountability), karena pertanggung-jawaban bukan hanya pada pimpinan tetapi bertanggung-jawab kepada Tuhan. Manusia harus konsisten untuk melakukan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya (ekologi), karena manusia berada pada dinamika keduanya. Dunia bisnis hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan bisnis tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Seorang pebisnis atau perusahaan memiliki tanggung-jawab sosial, karena bisnis tidak terbatas sampai menghasilkan barang atau jasa kepada konsumen dengan harga murah, tapi ada yang berpendapat lain, yakni dipengaruhi oleh etik, peraturan dan aksi konsumen.
Selain dengan masyarakat, perusahaan bertanggung-jawab melindungi konsumen melalui pertimbangan dampak terhadap lingkungan hidup. Hal ini, karena banyak perusahaan yang sering melakukan tindakan kurang seimbang, karena tidak memperdulikan lingkungan dengan memproduksi barang tak bermutu, cukup sekali buang, makanan mengandung beracun, limbah dan lainnya. Kesemuanya itu dapat membunuh (masyarakat) konsumen secara perlahan-lahan.
Tanggung jawab sosial dari bisnis ialah pelaksanaan etik bisnis yang mencakup proses produksi, distribusi barang dan jasa sampai penjagaan kelestarian lingkungan hidup dari ancaman polusi dan sebagainya. Pelaku usaha atau perusahaan tidak hanya bertanggung-jawab terhadap pemenuhan kebutuhan sesaat konsumen, tapi perlu mempertimbangkan jangka panjang kelangsungan hidup manusia dan ekologi untuk kemaslahatan umum.
Pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan usaha komersial lainnya, sudah saatnya memperhatikan hal-hal yang berkaitan keabsahan transaksinya, karena itu merupakan bentuk tanggung jawab yang mula-mula diselidiki. Seharusnya, tanggung jawab dalam setiap kegiatan ekonomi muncul dari kesadaran yang terdapat pada individu maupun dalam penekanan hukum dari pihak berwenang, seperti melalui perundang-undangan. Saat ini, produk-produk tertentu yang dipasarkan ternyata masih banyak yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan, baik berupa keruksakan ekologi maupun kesehatan manusia. Padahal, sebagaimana Alimin dkk. (2004), setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Karena itu, perlu pengawasan tehadap bahaya kerugian yang menimpa pihak masyarkat (konsumen) dan lingkungan hidup.
Berbagai pelanggaran lingkungan, seperti langkanya air bersih akibat limbah pabrik, makanan beracun dan sebagainya telah menyumbangkan berbagai penyakit bahkan kematian warga yang mengkonsumsi. Hal itu, merupakan perbuatan melanggar hukum (i’tida) secara tidak langsung yang harus dipertanggung-jawabkan pihak pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan komersial.
Setiap perbuatan berbahaya dalam Islam tidak dibenarkan (ghairu masyru’) dan setiap perbuatan tidak dibenarkan yang membawa bahaya harus dipertanggung-jawabkan, baik kerugian bahaya materil atau jiwa sebagai akibat buruk dari produk pelaku usaha.
Tetapi islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan
kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan harus tersebar dengan baik. Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal.
Kelihatannya tidak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi
dalam suatu kerangkaIs la m. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan,  untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi.
Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudarabah, musyarakah, dll).  Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama. Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen.Is la m menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.
-----------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Megister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, Yogyakarta, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1984
Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khatab, Khalifa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup, 2006
Monzer Kahf, Ekonomi Islam,”Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam”, Yogjakarta: Pustaka Pelajar,1995
Bustanuddin Agus, Islam Dan Ekonomi “Suatu Tinjauan Sosiologi Agama”, Yogyakarta: Andalas University Press, 2006
Ismail Nawawi, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2010
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami
, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1984
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Bangkit Daya Insan, 1995
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Jalasutra, 2003
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
http://Zonaekis.com/Faktor-Faktor Produksi Dalam Islam.
Xa.ying.com/kq/groups/../Prinsip Produksi Dalam Islam.doc.
http://Nurazifah.blogspot.com/2010/04/Prinsip Konsumsi Produksi dan.html.
http://www.scribd.com/doc/39317454/Mengenal-Ekonomi-Islam.
http://latifrusdi26.blogsome.com/2007/09/18/tanggung-jawab-sosial-perspektif-islam/.