Senin, 22 September 2014

Pertukaran Dalam Ekonomi Islam

A.    Sejarah Barter
   Pada peradapan awal, manusia memenuhi kebutuhan secara mandiri. Mereka memperoleh makanan dari berburu atau memakan berbagai buah-buahan. Masing-masing individu memenuhi kebutuhan makanan secara mandiri.  Allah menciptakan manusia dan menjadikannya mahluk yang membutuhkan makanan, minuman, pakaian dan tepat tinggal. Oleh karna itu, sejak awal sejarah manusia, orang-orang berkerja keras dalam kehidupan untuk memenuhi terjaminnya barang dan jasa dan memanfaatkan nikmat-nikmat yang Allah berikan bagi mereka.  Dalam periode pre-barter ini, manusia belum mengenal transaksi perdagangan atau kegiatan jual beli. 
    Ketika jumlah manusia semakin bertambah dan peradabanya semakin maju, kegiatan dan interaksi antar sesama manusia pun semakin meningkat tajam, kebutuhan manusia pun semakin beragam. Sehingga masing-masing individu mulai tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, satu samalain saling membutuhkan.  Ketika tidak sanggup seorang diri dalam memenuhi segala kebutuhan barang dan jasa, terjadilah kerja sama sesama manusia dalam rangka menjamin terpenuhnya kebutuhan-kebutuhan itu.  Sejak saat itulah, manusia mulai menggunakan berbagai cara dan alat untuk melangsungkan pertukaran barang. Periode inilah yang disebut dengan periode barter.
    Perekonomian barter adalah suatu perekonomian yang sistem transaksinya barang dipertukarkan dengan barang. Perekonomian semacam ini pernah berlangsung dahulu kala semasa uang belum ditemukan. Ketika itu setiap barang dapat dipertukarkan dengan barang lain.  Kemudian, katika lahirmya agama islam pada zaman Nabi Muhammad SAW, arabia sudah meninggalkan sistem barter, dan memakai sistem jual beli dan perdagangan.
    Perdagangan barter dalam bentuk modern, kendati tidak umum sesungguhnya pun masih berlangsung dalam zaman skarang, baik antar pribadi maupun antar negara. Indonesia saat ini juga menerapkan barter modern secara halus atau tidak ketara, yakni melalui sistem “perdagangan imbal beli” (counter puchase). Negara lain boleh mengekpor barang tertentu hasil produksinya dengan ketentuan harus mengimpor barang tertentu lain dari sini.
    Perdagangan dengan pola barter rasanya bukanlah suatu yang terlarang dalam islam, sepanjang terdapat kesukarelaan diantara pihak-pihak yang bertransaksi.
B.     Uang
Dinar emas dan dirham perak serta uang Bantu fulus (uang tembaga) merupakan mata uang yang berlaku pada zaman Rasulillah Saw.  Uang adalah suatu alat atau media tukar yang digunakan dalam pembelian dan atau penjualan barang-barang dan jasa-jasa, uang juga merupakan suatu standat nilai.   Secara etimologi, ada beberapa definisi tentang makna uang, diantaranya adalah al-Naqdu yang bermakna tunai, yakni memberikan bayaran segerah.  Selain itu, uang juga sebagai standar kegunaan yang terdapat pada barang dan tenaga. Oleh karna itu, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang dipergunakan untuk mengukur tiap barang dan tenaga.
Pada mulanya tidak ada uang. Keluarga pada jaman dahulu mencukupi kebutuhannya sendiri tiap rumah tangga memproduksi semua yang mereka konsumsi dan mengkonsumsi semua yang mereka produksi, sehingga sedikitkebutuhan untuk pertukaran. Tanpa pertukaran, tidak ada kebutuhan uang.
Pertama kali, uang dikenal dalam peradaban sumeria dan babylonia. Uang kemudian berkembang dan berevolusi mengikuti pperjalanan sejarah. Dari perkembangan inilah, uangkemudian bisa dikatagorikan dalam tiga jenis, yaitu uang barang, uang kertas dan uang giral atau uang keridit.
Tidak seorangpun mencatat saat kemunculan uang secara tepat. Dengan demikian hanya dapat dikira-kira bagaimana pertama kali digunakan. Melalui pengalaman yang telah terkumpul dalam pertukaran barter, pedagang mungkin dapat dengan mudah menemukan pribadi atas barang tertentu. Apabila seorang pedagang tidak dapat menemukan barang yang dia inginkan, maka dia dapat menukarnya dengan barang lain yang relative mudah untuk dijual kembali. Sehingga pedagang mulai menerima barang tertentu tidak untuk segera dikonsumsi, tetapi untuk dijual kembali karena barang ini dapat dengan mudah diterima oleh orang. Setiap barang dapat diterima dengan mudah secara umum dalam suatu perekonomian dapat berfungsi sebagai uang.
Uang menurut fuqaha tidak terbatas pada emas dan perak yang di cetak, tetapi mencakup seluruh jenisnya. Al-Syarwani berkata: “(dan uang) yakni emas dan perk sekalipun bukan cetakan. Dan pengususan terhadap cetakan sangat di hindari dalam padangan (‘Urf) para fuqaha.’
Jadi dirham dan dinar merupakan alat standar ukuran yang di bayarkan sebagai pertukaran komoditas dan jasa. Keduanya adalah unit hitungan yang memiliki kekuatan nilai tukar pada bendanya, bukan pada perbandingan dengan komoditas atau jasa, Karena segala sesuatu tidak bisa menjadi nilai harga bagi keduanya.
C.    Fungsi Uang
Uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu:
1.    Sebagai Alat Tukar
Suatu alat pertukar adalah sesuatu yang dapat diterima secara umum untuk  pembayaran barang dan jasa. Dan Uang merupakan alat tukar yang digunakan oleh setiap individu untuk pertukaran komoditas dan jasa. Dan uang juga bisa dikatakan sebagai jalan tengah dalam proses pertukaran. Pada dasarnya, Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan komuditas atau barang dagang. Oleh karna itu, motif permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transakai.
Fungsi ini menjadi sangat penting dalam ekinomi maju, dimana pertukaran terjadi oleh banyak pihak. Seseorang tidak memproduksi setiap apa yang dibutuhkan, tetapi terbatas pada barang tertentu, atau bagian dari barang atau jasa tertentu, yang dijual kepada orang-orang untuk selanjutnya ia gunakan untuk mendapatkan barang atau jasa apa yang ia butuhkan. Dengan demikian, uang membagi proses pertukaran ke dalam dua macam:
a.    Proses penjualan barang atau jasa dengan pembayaran uang.
b.    Proses pembelian barang atau jasa dengan menggunakan uang.
2.    Sebagai Satuan Hitung
Yakni sebagai media pengukur nilai harga komoditi dan jasa, dan perbandingan harga setiap komoditas dan komoditas lainnya.
Karena komoditi.  seperti jagung dan tembakau, menjadi diterima secar luas, harga barang yang lain menjadi diukur atas dasar-dasar tersebut. Komoditas tersebut menjadi satuan hitung yang umum, suatu unit standar untuk menentukan harga. Misalnya apabila harga sepatu atau ember diukur dalam satuan banyaknya jagung, maka jagung bukan hanya sebagai alat pertukaran, tetapi juga menjadi ukuran nilai seluruh barang dan jasa lain.
Imam Ghazali mengisaratkan uang sebagai unit hitungan yang digunakan untuk mengukur nilai harga komuditas dan harga. Ibnu Qudamah juga mengisaratkan fungsi uang sebagai alat ukur dan media pertukaran.
3.    Sebagai Penyimpan Nilai
Al-Ghazali berpendapat, dalam perekonomian barter sekalipu Uang dibutuhkansebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100 dinar dan kain senilai skian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi juga sebagai media pertukaran. Namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar daraai pertukaran tersebut.
Maksud para ahli ekonomi dalam ungkapan mereka ”uang sebagai penyimpan nilai” adalah bahwa orang yang mendapatkan uang, kadang tidak mengeluarkan seluruhnya dalam satu waktu, tapi ia sisihkan sebagian untuk membeli barang atau jasa yang ia inginkan, atau ia simpan untuk hal-hal tak terduka seperti berobat ketika sakit atau menghadapi kerugian yang tak terduga.
Penyimpanan barang itu sendiri tentu sangat susah, karena ada yang tidak bisa bertahan lam, ada yang membutuhkan biaya tambahan dalam pemeliharaannya. Sedangkan uang berfungsi sebagai penyimpanan daya tukar dengan mudah. Demikianlah proses penjualan barang atau jasa dengan pembayaran uang jika tidak dilanjutkan dengan proses pembelian, tapi penyimpanan uang itu, yakni cukup dengan proses nilai barang (uang), jelas fungsi uang sebagia media penyimpan nilai.  Uang berperan sebagai penyimpan nilai bila dapat menyimpan daya beli selama waktu tertentu. Semakin besar kemampuan uang dalam menyimpan daya beli, maka semakin tinggi juga perannya sebagai penyimpan nilai.
Adapun pandanagan islam terhadap uang yaitu bahwasanya uang hanyalah sebagai alaat tukar, bukan komoditas atau barang dagangan. Oleh kerena itu motif permintaan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading.
Islam sangat menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran. Salah satu bentuk pertuakran di zaman dahulu adalah barter, dimana barang saling dipertukarkan. Rasulullah saw. menyadari kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan dalam system pertukaran barter ini. Beliau ingin menggantinya dengan system pertukaran melalui uang. Oleh karena itu, beliau menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Dalam islam tidak mengenal istilah money demand for speculation. Hal ini karena speculasi tidak diperbolehkan. Uang pada hakikatnya adalah milik Allah SWT yang diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan kita dan masyarakat.
Di sisi lain seefektif apapun uang dapat berfungsi memfasilitasi perdagangan; konsep barter sesungguhnya juga tetap menjadi konsep perdagangan yang valid sepanjang zaman.
D.     Teori Pertukaran
Teori pertukaran terdiri dari dua pilar, yaitu:
1.    Objek pertukaran
Fiqh membedakan dua jenis obyek pertukaran, yaitu:
a.    ‘Ayn (real asset) berupa barang dan jasa.
b.    Dyn  (financial asset) berupa uang dan surat berharga.
2.    Waktu pertukaran
Fiqh membedakan dua waktu pertukaran, yaitu:
a.    Naqdan  (immediate delivery) yang  berarti penyerah saat itu juga.
b.    Ghairu naqdan (deferren delivery) yang berarti penyerahan kemudian.
Dari segi objek pertukaran, dapat di identifikasi tiga jenis pertukaran, yaitu:
a.    Pertukaran real assest (‘ayn) dengan real asset (‘ayn).
b.    Pertukaran real asset (’ayn)  dengna financial asset (dayn).
c.     Pertukaran financial  asset (dayn)  dengna financial asset (dayn).
1)    Pertukaran ‘ayn dengan ‘ayn
a)    Lain jenis
Dalam pertukaran ‘ayn dengan ‘ayn, bila jenisnya berbeda (misalnya upah tenaga kerja yang dibayar dengan jumlah beras) maka tidak ada masalah (dibolehkan).
b)    Sejenis
Namun bila jenisnya sama, fiqih membedakan antara real asset yang secara kasat mata dapat dibedakan mutunya dengan real asset yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya. Pertukaran kuda dengan kuda diperbolehkan karena secara kasat mata dapat dibedakan mutunya. Sedangkan pertukaran gandum dengan gandum dilarang karena secara kasat mata tidak daspat dibedakan mutunya.
Satu-satunya kondisi yang membolehkan pertukaran antara yang sejenis dan secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya adalah:
a)    Sawa-an bi Sawa-in (sama jumlahnya)
b)    Mitslan bi Mitslin (sama mutunya); dan
c)    Yadan bi Yadin (sama waktu penyerahannya)
Didalam hadis diberikan contoh barang-barang sejenis yang secara kasat mata tidak dapat dibedakan mutunya, yaitu emas dan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, jagung gengan jagung, dan garam dengan garam.
2)    Pertukaran ‘ayn dengan dayn
Dalam pertukaran ‘ayn dengan dayn, maka yang dibedakan adalah jenis ‘ayn-nya. Bila ‘ayn-nya adalah barang, maka pertukaran ‘ayn dengan dayn disebut jual beli (al-bai’). Sedangkan bila ‘ayn-nya adalah jasa, maka pertukaran itu disebut sewa-menyewa/upah-mengupah (al-ijarah).
Dari segi pembayannya islam membolehkan jual beli dilakukan secara tunai (now for now), bai’naqdan atau secara tangguh bayar (deferred payment, bai’ muajjal), atau secara tangguh serah (deferred delivery, bai’ salam). Bai’ muajjal dapat dibayar secara penuh (muajjal) atau secara cicilan (taqsith). Jual beli tangguh serah bisa dibedakan lagi menjadi: pertama, pembayaran lunas sekaligus di muka (bai’ salam); kedua, pembayaran dilakukan secara cicilan dengan syarat harus lunas sebelum barang diserahkan (bai’ istishna’).
Jual beli dapat dilakukan secara lazim tanpa si penjual menyebutkan keuntungannya. Akan tetapi dalam hal khusus, misalnya jual beli dengan anak kesil atau dengan orang yang akalnya kurang, jual beli dilakukan secara murabahah (dari akar kata ribhu yang berarti untung), yaitu si penjual menyebutkan keuntungannya. Dalam praktik perbankan syariah, akad murabahah lazim digunakan meskipun transaksinya tidak dilakukan dengan anak kecil atau orang yang akalnya kurang, karena teknik perhitungan keuntungan yang dilakukan bank terlalu rumit untuk difahami oleh masyarakat awam. Bank misalnya, menggunkan teknik perhitungan sliding, efektit, flat, progresif yang jangankan masyarakat awam, staf bank yang bersangkutan pun tidak semuanya paham.
Ijarah bila diterapan untuk mendapatkan barang disebut sewa-menyewa, sedangkan bila diterapkan untuk mendapatkan manfaat orang lain disebut upah-mengupah. Ijarah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu ijarah yang pembayarannya tergantung kinerja yang disewa (disebut ju’alah, success fee), dan ijarah yang pembayarannya tidak tergantung pada kinerja yang disewa (disebut ijarah, gaji dan sewa). Dalam praktik perbangkan, akad ijarah diperlukan untuk memenuhi kebutuhan nasabah menyewa ruko.
3)    Pertukaran dayn dengan dayn
Dalam pertukaran dayn dengan dayn, dibedakan antara dayn yang berupa uang dengan dayn yang tidak berupa uang (untuk selanjutnya disebut surat berharga). Pada zaman ini, uang tidak lagi terbuat dari emas atau perak. Sehingga uang saat ini adalah uang kartal yang trdiri dari uang kertas dan uang logam.
Yang membedakan uang dengan surat berharga adalah uang dinyatakan sebagai alat bayar resmi oleh pemerintah, sehingga setiap warga Negara wajib menerima uang sebagai alat bayar. Sedangkan akseptasi surat berharga hanya terbatas bagi mereka yang mau menerimanya.
Pertukaran uang dengan uang dibedakan menjadi pertukaran uang yang sejenis dengan pertukaran uang yang tidak sejenis. Pertukaran uang yang sejenis hanya dibolehkan bila memenuhi syarat: sawa-an bi sawa-in (same quantity), dan yadan bi yadin (same time of delivery).
Pertukaran uang yang tidak sejenis hanya dibolehkan bila memenuhi syarat yadan bi yadin (same time of delivery). Pertukaran yang tidak sejenis disebut sharf (money changer).
Jual beli surat berharga pada dasarnya tidak diperbolehkan. Namun bila surat berharga dilihat lebih rinci, dapat dibedakan  menjadi dua, yaitu surat berharga yang merupakan representasi ‘ayn, dan surat berharga berharga yang tidak merupakan representasi ‘ayn. Secara umum dapat dikatakan bahwa hanya surat berharga yang merupakan representsi ‘ayn yang dapat dijua-belikan.
Secara terinci jual beli surat berharga dapat dibedakan menjadi:
1.    Penjualan kepada si pengutang yang dapat dibedakan lagi menjadi:
1.    Hutang yang pasti pembayarannya. Bagi mazhab hambali dan zahiri, transaksi ini boleh.
2.    Hutan gyang tidak pasti pembayarannya. Transaksi ini terlarang.
2.    Penjualan kepada pihak ketiga yang dapat dibedakan lagi menjadi empat pendapat:
3.    Kebanyakan ulama mazhab Hanafi dan Syafi’i, beberapa ulama Hambali dan Zahiri secara tegas tidak membolehkan hal ini.
4.    Ibnu Taimiyah membolehkannya bila utangnya adalah utang yang pasti pembayarannya.
5.    Imam Siraji, Subki, dan Nawawi membolehkannya.
E.     Sistem Barter
Sebelum uang dikenal, perdagangan antar umat manusia mengandalkan Sistem Barter. Karena barter saat itu hanya dilakukan antar 2 belah pihak yang secara kebetulan saling membutuhkan barang atau jasa pihak lain, maka perdagangan tentu sulit untuk terjadi secara aktif. Hambatan perdagangan ini adalah karena kondisi yang disebut coincidence of wants (kebutuhan yang secara kebetulan saling sesuai) sebagai prasyarat terjadinya barter – tidak mudah terpenuhi.
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan “tukar ganti” (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata uang tidak ada, yakni seperti halnya mata uang sekarang.
Sedangkan menurut Marllu Hurt, barter adalah pertukaran barang dengan barang, seperti telor drngan buah, kain dengan kranjang dan lembu dengan bulu.
Pada dasarnya sistem barter terbatas pada beberapa jenis saja. Tetapi lama kelamaansetelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, yakni:
1.     Mempunyai barang yang sama yang dibutuhkan.
2.     Mmbutuhkan apa yang kita tawarkan.
3.     Dengan nilai yang kira-kira sama atau dapat dibandingkan.
4.    Bersedia menukarkannya.
Sehingga sistem bbarter tersebut perlu direfisi, al-Ghozali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligu percetakan uang yang disebut Dar al-Darb (lembaga percetakan) berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.
F.     Barter Uang dengan Uang
Pertukaran mata uang dengan mata uang serupa, atau penjualan mata uang dengan mata uang asing, adalah aktivitas as-sharf. Dimana aktivitas as-sharf tersebut hukumnya mubah. Sebab, as-sharf tersebut merupakan pertukaran harta dengan harta lain, yang berupa emas dan perak, baik yang sejenis maupun yang tak sejenis dengan bentuk dan ukuran yang sama dan boleh berbeda.
    Dari Abu Bakar berkata:
Rosullah SAW telah melarang membeli perak dengan perak, emas dengan emas kecuali setara harganya (dan telah terimanya langsung), dan memperintahkan kita untuk membeli perak dengan emas sesuka kita.
Mata uang kertas telah menjadi sarana perantara dalam tukar menukar. Dan telah menjadi nilai harga sebagaimana halnya emas dan perak. Maka dari itu hukum tukar menukar uang juga tunduk pada peraturan as-asharf sebagaimana halnya emas dan perak. Ulama Syafi’iyyah dan yang lain membedakan: bila sejenis disebut murathalah dan bila deba jenis disebut as-asharf . Adapun mata uang dengan mata uang lebih dominan disebut ash-asharf.  Adapun syarat-syaratnya adalah sebagai berikut;
1.    Serah Terima Sebelum Al-Iftir.
Saat melakukan tukar menukar antara mata uang kertas, baik dengan jenis yang sama maupun dengan uang kertas yang berbeda, disyaratkan serah terima sebelu kedua belah pihak meninggalkan tempat transaksi. Dan tidak boleh menunda pembayaran salah satu keduanya. Kalau tidak, maka transaksi tersebut hukumnya tidak sah. Hal ini berdasarkan hadits Rosuluallah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah (r.a); Emas dengan emas, perak dengan perak, sama rata tangan ke tangan (kontan).
2.    Al-Tamatsul
Tidak boleh At-Tadfadhul (tidak sama rata) apabila dengan penukaran satu jenis namun, jika dengan jenis yang berbeda maka diperbbolehkan tafadhul. Misalkan menukarkan mata uang rupiah dengan rupiah, maka disyariatkan at-tamatsul dan di haramkan at-tafadhul. Namun jika menukarkan mata uang riupiah dengan dolar, maka tidak di syari’atkan at-tamatsul.
3.    Tidak Terdapat pada Akad Tersebut Khiyar As-sharf (syarat boleh membatalkan transaksi)
Apabila terdapat khiyar as-syart pada akat as-sharf, baik syarat tersebut dari sebelah pihak, maka menurut jumur ulam’, transaksi tersebut hukumnya tidak sah. Sebab salah satusahnya transaksi ini adalah serah terima, sementara khiyar as-syart menjadi kendala untuk kepemilikan sempurna. Adapun ulama’ hambali berpendapat, bahwa as-sharf tetap dianggap sah. Sedangkan khiyar as-syart menjadi sia-sia(tidak sah)


DAFTAR PUSTAKA
  •  An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, Surabaya:Risalah Gusti, 1996.
  • Hasan, Ahmad. Mata Uang Islam, jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
  • http://ekonomiislamkita.blogspot.com/2008/08/uang-dan-permintaan-uang-dalam-islam.html, (Sabtu, 08 Januari 2011)
  • http://id.shvoong.com/book/183490-sejarah-pemikiran-ekonomi-islam, (Sabtu, 25 Desember 2010)
  • http://www.dinarislam.com/business-opportunity/barter-di-ekonomi-modern-mungkinkah.html. (Sabtu, 08 Januari 2011)
  • Huda Nurul. Nasution, Mustofah Edwin. Idris, Hadi Risza. Wiliasih, Ranti. Ekonomi Marko Islam, Jakarta: Kencana, 2008.
  • Karim, Adi Warman. Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2004.
  • Karim, Adiwarman.A. Ekonomi islam Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
  • Nasution, Mostofah Edwin. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana, 2007.
  • Rusli, Karim.R. Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2000.
  • Safi’i Antono, Ahmad. Bank Syariah: dari Teori Kepraktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
  • Triandaru, Sigit. Ekonomi Makro: pendekatan kontemporer, Jakarta: Selemba Empat, 2000.
  • Wijaya, Farid, Perkriditan, Bank dan Lembaga-lembaga Keuangan, Jokyakarta: BPFE –Yogyakarta, 1999.
  • www.asysyariah.com, (Sabtu, 25 Desember 2010)
  • Zaky al-Kaaf, Abdullah. Ekonomi dalam Persepektif Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2002.

Kamis, 18 September 2014

Distribusi Dalam Ekonomi Islam


A. Pengertian Distribusi
Distribusi adalah suatu proses (sebagian hasil penjualan produk) kepada faktor-faktor produk yang ikut menentukan pendapatan . Dalam kamus bahasa Indonesia dijelaskan distribusi adalah penyaluran barang ketempat-tempat.
Menurut Collins distribusi adalah proses penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, diantaranya melalui perantara. Definisi yang diungkapkan oleh Collins memiliki pemahaman yang sempit apabila dikaitkan dengan tujuan ekonomi islam. Hal ini disebabkan karena definisi tersebut cenderung mengarah pada perilaku ekonomi yang bersifat individual. Namun dari definisi diatas dapat ditarik suatu pemahaman, dimana dalam distribusi terdapat proses pendapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimilki oleh negara.
 Sementara Anas Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi itu sebagai suatu transfer dari pendapatan kekayaan antara individu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara lain, seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat
Jadi konsep distribusi menurut pandangan islam ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat ditingkatkan, sehingga kekayaan yang ada dapat melimpah dengan merata dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja  serta dapat memberikan kontribusi kearah kehidupan manusia yang baik

B. Tujuan Distribusi   
Semua pribadi dalam masyarakat harus memperoleh jaminan atas kehidupan yang layak. Atas dasar dapat kita lihat beberapa tujuan ekonomi islam yaitu sebagai berikut:
1. Islam menjamin kehidupan tiap pribadi rakyat serta menjamin masyarakat agar tetap sebagai sebuah komunitas yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Islam menjamin kemaslahatan pribadi dan melayani urusan jamaah, serta menjaga eksistensi negara dengan kekuatan yang cukup sehingga mampu memikul tanggung jawab perekonomian negara.
3. Mendistribusikan harta orang kaya yang menjadi hak fakir miskin, serta mengawasi pemanfaatan hak milik umum maupun negara.
4. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan berdasarkan jalan Allah agar tercapai maslahah bagi seluruh masyarakat.

C. Nilai Yang Ada Dalam Distribusi Ekonomi Islam
Dalam menjalankan disrtibusi ada beberapa nilai yang ada diantaranya:
1. Akidah
Akidah mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai dampak yang kuat dalam cara berpikir seseorang. Akidah begitu kuat pengaruhnya sehingga dapat mengendalikan manusia agar mau mengikuti ajaran yang diembannya.
2. Moral
Moral berasal dari kata moralis. Disini moralitas menunjuk kepada perilaku manusia itu sendiri.  Hukum yang berlaku pada moralitas berbeda dengan hukum formal. Pada hukum formal memberi sanksi jika melanggar. Akan tetapi hukum moral tidak tetapi menembus kedalam sehingga melihat hal yang bersifat niatnya saja. Misalnya dalam kasus orang yang bersedekah, hukum moral memandang niat dari sedekah ini. Jika niatnya baik demi menolong orang yang lemah maka sedekah ini baik dan berarti pula sama persis dengan nilai moral. Tapi jika niatnya jelek hanya untuk riya’ (show belaka) maka sedekah demikian dianggap salah dan divonis sebagai tindakan yang tidak berakhlakul karimah.
3. Hukum Syariah
Dengan adanya hukum syariah agar dalam menjalankan kegiatan ekonomi ada batasannya yaitu sesuai dengan jalan Al-Quran dan sunnah. 
4. Keadilan
Keadilan merupakan nilai yang paling asasi dalam ajaran islam. Menegakkan keadilan dan memberantas kezaliman adalah tujuan utama dari risalah para rasul-Nya (QS 57:25). Dengan berbagai muatan adil tersebut secara garis besar keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terdapat kesamaan perlakuan dimata hukum, kesamaan hak kompensasi, hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-Quran, maka hal ini bisa diturunkan menjadi berbagai nilai turunan yaitu:
a) Persamaan Kompensasi
Persamaan kompensasi adalah pengertian adil yang paling umum yaitu seseorang harus memberikan kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan . Komponen yang ada dalam kompensasi tersebut antara lain: upah dan ongkos.
b) Persamaan Hukum
Persamaan hukum disini memberikan makna bahwa setiap orang harus diperlakukan sama didepan hukum. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap seseorang didepan hukum atas dasar apapun juga. Dalam transaksi ekonomi tidak ada alasan untuk melebihkan hak suatu golongan atas golongan yang lain karena kondisi yang berbeda.  Kesejahteraan dan hasil pembangunan harus didistribusikan kepada orang dan tidak mengumpul pada kelompok tertentu.
c) Proporsional
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsinal, baik dari sisi kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab ataupun kontribusi yang telah diberikan seseorang. Suatu distribusi yang adil tidak selalu harus merata, namun tetap memperhatikan ukuran dari masing-masing individu yang ada, mereka yang ukurannya besar perlu memperoleh besar dan yang kecil memperoleh jumlah yang kecil pula.

D. Mekanisme Distribusi
Masalah ekonomi terjadi apabila kebutuhan pokok (al-hajatu al-asasiyah) untuk semua pribadi manusia tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan pokok merupakan persoalan distribusi kekayaan. Dalam mengatasi persoalan distribusi tersebut harus ada pengaturan menyeluruh yang dapat menjamin terpenuhi seluruh kebutuhan pokok pribadi, serta menjamin adanya peluang bagi setiap pribadi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Dalam persoalan distribusi kekayaan yang muncul, islam melalui sistem ekonomi islam menetapkan bahwa berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme distribusi yang ada dalam ekonomi islam secara garis besar dikelompokan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu: mekanisme ekonomi dan mekanisme nonekonomi.
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan mengandalkan kegiatan ekonomi agar tercapai distribusi kekayaan. Mekanisme ini dijalankan dengan cara membuat berbagai ketentuan dan mekanisme ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan.  Dalam menjalankan distribusi kekayaan, maka mekanisme ekonomi yang ditempuh pada sistem ekonomi islam diantaranya manusia yang seadil-adilnya dengan cara berikut:
a. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab hak milik (asbabu al-tamalluk) dalam hak milik pribadi (al-milkiyah al-fardiyah).
Dalam islam telah ditetapkan sebab-sebab utama seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan hak milik pribadi.  Hak milik pribadi adalah hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (utility) tertentu, yang memungkinkan siapa saja mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi–baik karena barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain (seperti disewa) ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dari barang tersebut. Oleh karena itu, setiap orang bisa memiliki kekayaan yang ada di bumi.  Dalam hal ini islam mengikatkan kemerdekaan seseorang dalam menggunakan hak milik pribadinya dengan ikatan-ikatan yang menjamin tidak adanya bahaya terhadap orang lain atau mengganggu kemaslahatan umum. Menimbulkan bahaya adalah penganiayaan, sedang penganiayaan itu dilarang oleh nash Alquran.
Salah satu upaya yang lazim dilakuakan manusia untuk memperoleh harta kekayaan adalah dengan bekerja. Islam menetapkan adanya “bekerja” bagi seluruh masyarakat. Maka dari tiu “ bekerja” menurut islam adalah sebab pokok yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memiliki harta kekayaan.
Az-Zein mengatakan bahwa dengan memahami hukum-hukum syara’ yang menetapkan bahwa bentuk pekerjaan tersebut tampak jelas, bahwa bentuk-bentuk pekerjaan yang diisyaratkan, sekaligus dapat dijadikan sebab hak milik harta adalah pekerjaan-pekerjaan sebagi berikut:
1) Bekerja disektor jasa (ijarah);
2) Bekerja sebagai broker/makelar;
3) Bekerja sebagai pengelola (mudharib) pada perseroan (syarikah) mudharabah;
4) Bekerja mengairi lahan pertanian (musaqat);
5) Menghidupan tanah mati;
6) Menggali kandungan bumi.
b. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
Pengembangan hak milik (tanmiyatu al-milkiyah) adalah mekanisme yang digunakan seseorang untuk mendapatkan tambahan hak milik tersebut. Karena islam mengemukakan dan mengatur serta menjelaskan satu mekanisme untuk mengembalikan hak milik. Maka pengembangan hak milik tersebut harus terikat dengan hukum-hukm tertentu yang telah dibuat syara’ dan tidak boleh dilanggar ketentuan-ketentuan syara’ tersebut.
Kalau kita amati berbagai macam bentuk harta kekayaan yang ada dalam kehidupan, maka dapat kita kelompokkan menjadi tiga macam, yaitu: 1) Harta berupa tanah; 2) Harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang (jual-beli); 3) Harta yang diperoleh dengan cara mengubah bentuk dari satu bentuk kebentuk yang berbeda.  Dalam hal transaksi jual beli maupun produksi ada bebrapa saluran distribusi yang ada didalmnya yaitu:
1. Produsen ------------------------------------------------ konsumen
2. Produsen -------------------------- pedagang eceran ---- konsumen
3. Produsen --------------- grosir ---- pedagang eceran ---- konsumen
4. Produsen ---- Agen ---- grosir ---- pedagang eceran ---- konsumen
Dari sinilah kita ketahui teknik yang digunakan oleh orang-orang mengembangkan untuk harta kekayaan yang kesemuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.
c.    Laranagn menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonominya. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Dijelaskan Al Badri bahwa islam mengharamkan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya, dan mewajiban pembelanjaan terhadap harta tersebut, agar ia beredar ditengah-tengah masyarakat sehingga dapat diambil manfaatnya. Penggunaan harta benda dapat dilakukkan dengan mengerjakan sendiri ataupun bekerja sama dengan orang lain dalam suatu pekerjaan yang tidak diharamkan. Ada banyak hal larangan dalam Alquran diantarnya, yaitu melarang usaha penimbunan harta, baik emas maupun perak karena keduanya merupakan standar mata uang. Allah berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa ayat tersebut muncul adanya penimbunan uang, bukan adanya akibat saving uang. Sebab saving tersebut tidak akan menghentikan roda perekonomian. Sebaliknya penimbunanlah yang justru menghentikannya.
Perbedaan antara penimbunan dengan saving adalah, bahwa kalau penimbunan berarti mengumpulkan uang satu dengan uang yang lain tanpa ada kebutuhan, dimana penimbunan tersebut akan menarik uang dari pasar. Sementara saving adalah menyimpan uang karena adanya kebutuhan, semisal mengumpulkan uang untuk membangun rumah, untuk menikah, memperbaiki bisnis ataupun untuk keperluan yang lain. 
d. Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
Islam menganjurkan agar harta benda beredar diseluruh anggota masyarakat, dan tidak beredar dikalangan tertentu, sementara kelompok lain tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrasturktur. Untuk merealisasikan hal ini maka negara menjadi fasilisator antara orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan berkesempatan untuk mengerjakan dan mengembangkan hartanya dengan pengelola yang professional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam perseroan.
Selain itu negara dapat juga memberikan pinjaman modal usaha. Dan pinjaman tidak dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat juga diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar tidak terbebani oleh pengembalian pinjaman tersebut.
Cara lain yang dilakukan adalah dengan menyediakan berbagai fasilitas seperti jalan raya , pelabuhan, pasar dan lain sebagainya.
e. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagi penipuan yang dapat mendistorasi pasar.
Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang merupakan jenis hak milik pribadi (private property). Sebab dengan adanya monopoli, maka seseorang dapat menentukan harga jual produk tidak sesuai dengan pasarnya, sehingga dapat merugikan kebanyakan orang dimuka umum. Bahkan negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam penetapan harga jual suatu produk yang ada dipasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya perubahan harga pasar. Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak. Imam Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah r.a yang mengatakan:
“Bahwa ada seseorang laki-laki datang lalu berkata: ‘Wahai Rasulullah tetapkan harga ini .’ Beliau menjawab: ‘(Tidak) justru, biar saja.’ Kemudian beliau didatangi laki-laki yang lain lalu mengatakan : ‘Wahai Rasulullah, tetapkan harga ini’ Belaiu menjawab . (Tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkannya. Pematokan harga secara sepintas tampaknya baik dan bisa memberi kemaslahatan bagi rakyat secara keseluruhan. Akan tetapi, dengan pengamatan yang lebih mendalam pematokan harga tersebut akan berdampak munculnya pasar-pasar gelap. Dalam kondisi paceklik akan mendorong kaum kaya untuk berlomba-lomba memborong barang kemudian menjual dipasar gelap dengan harga yang bisa mereka kendalikan sendiri. Akibatnya harga barang akan semakin membumbung naik tanpa bisa dikendalikan lagi. Hal itu menyebabkan yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan terus tercekik.
Akan tetapi berbeda dengan berbagai produk yang termasuk milik umum islam memperbolehkan adanya monopoli oleh negara. Namun monopoli oleh negara bukan berarti negara dapat menerapkan harga sebebas-bebasnya demi mengejar keuntungan semata. Namun negara justru berkewajiban menyediakan berbagai produk tersebut dengan harga serendah-rendahnya.
Masalah lain yang dilarang oleh islam adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual produknya dengan harga sangat murah, padahal harga yang ada dipasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Abdullah Ibn Umar r.a meriwayatkan berkata:
“Kami pernah menyambut orang-orang yang datang membawa hasil panen dari luar kota lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah Saw melarang kami membelinya sampai hasil panen tersebut di bawa ke pasar”    
f. Laranagn kegiatan judi, riba, korupsi pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
Judi dan riba merupakan penyebab utama uang hanya akan bertemu dengan uang (bukan dengan barang dan jasa) dan beredar diantara orang kaya saja karena islam melarang serta mengharamkan akktivitas tersebut. Allah berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”Berkitan dengan riba Allah Swt berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”. Dari penggalan ayat Al-Quran tersebut dapat dilihat bahwa riba mempunyai banyak bahaya dintaranya:
1. Menumbuhkan egoisme individu
2. Merusak sendi-sendi kehidupan ekonomi
3. Merusak tatanan ekonomi 
Sementara korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa mengakibatkan harta hanya beredar diantara orang-orang yang sudah berkecukupan. Hal ini merupakan penyebab rusaknya sistem distribusi kekayaan. Berkaitan dengan suap menyuap Rasululullah bersabda:
“Allah Swt melaknat penyuap, penerima suap dan menjadi perantara suap menyuap” (HR Ahmad)
Seorang pejabat yang menduduki suatu jabatan khusus dilarang menerima hadiah dari pihak manapun. Hal demikian tidak boleh seorang pegawai atau pejabat yang sedang mengerjakan tugasnya menerima komisi.sementara dia telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya.
g.    Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang dari SDA milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Dengan disiplinnya pengelolaan dan pemanfaatan harta-harta yang menjadi milik umum, maka hasilnya dapat didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara cuma-cuma atau dengan harga yang murah.  Dan jika terjadi kenaikan harga harus megikuti kenaikan pendapatan rata-rata penduduk. Dalam islam adanya tingkat harga yang wajar atau adil bukan sebuah keringanan melainkan hak fundmental yang dijamin hukum negara.
2. Mekanisme Nonekonomi
Didukung oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadi musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memilki faktor-faktor tersebut. Dengan ekonomi biasa, maka distribusi kekayaan tidak akan berjalan dengan baik karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti aturan kegiatan ekonomi secara normal sebagimana orang lain. Bila dibiarkan maka orang-orang itu tergolong tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpuruk secara ekonomi. Oleh karena itu agar tercapai keseimbangan dan kesetaraan ekonomi maka dapat dilakukan hal-hal berikut:
a.    Pemberian negara kepada rakyat yang membutuhkan
Pemberian harta negara tersebut dengan maksud agar dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan secara merata. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diberikan secara langsung ataupun tidak langsung dengan jalan memberi berbagai sarana fasilitas sehingga pribadi dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mengenai berbagai pemenuhan kebutuhan hidup contohnya negara memberi sesuatu kepada pribadi atau masyarakat yang mampu mngerjakan lahan, maka negara akan memberikan lahan yang menjadi milik negara kepada pribadi yang tidak mempunyai lahan tersebut atau negara memberikan harta kepada pribadi yang mempunyai lahan tetapi tidak  mempunyai modal untu menegelolanya.   
b.    Zakat
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme nonekonomi dalam hal distribusi zakat. Zakat adalah ibadah yang dapat dilaksanakan oleh para muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapapun yang termasuk muzakki untuk membayar zakatnya.
Dari harta zakat tersebut kemudian dibagikan kepada golongan tertentu , yakni delapan asnaf seperti yang telah disebutkan dalam Alquran. Allah berfirman:
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.Jadi zakat merupakan ibadah yang berperan dan berdampak ekonomi , yakni berperan sebagi instrument distribusi kekayaan diantara manusia.
c.    Warisan
Ketika mati orang meninggal itu tidak lagi memiliki hak apa-apa atas badan dan hartanya. Sekalipun harta tersebut milik si mayit, tetapi ketika mati ia tidak berhak memberikan kepada siapa saja sesuka dia. Wasiat menyangkut harta kepada selain ahli waris hanya diperbolehkan paling banyak sepertiga bagian saja. Dengan cara ini akan berlangsung peredaran harta milik mayit kepada ahli warisnya. Dan ahli waris bisa mendapatkan harta tanpa melalui ekonomi biasa.
Pribadi ahli waris dapat memperoleh harta dengan mendapatkan warisan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah nash al-quran yang penunjukannya secara qathiy. Waris mempunyai hukum-hukum tertentu yang sifatnya tauqify yakni suatu ketentuan hukum yang bersifat dari Allah Swt. Hukum waris juga tidak disertai illat (sebab ditetapkan hukum) apapun. Nash-nash Alquran telah menjelaskan hukum-hukum waris dalam bentuk rinci: Allah Swt telah menyatakan dalam firmannya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.d.    Shadaqah
Dalam distribusi non ekonomi kita juga mengenal distribusi pendapatan yang berada dalam konteks rumah tangga.  Distribusi pendapatan dalam konteks rumah tangga tidak lepas dari terminologi shadaqah. Pengertian shadaqah disini bukan berarti sedekah dalam pengertian bahasa Indonesia. Karena shadaqah dalam kontek terminologi Alquran dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu shadaqah wajibah yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrument distribusi pendapat berbasis kewajiban. Untuk kategori ini bisa berarti kewajiban personal seseorang sebagai muslim, seperti warisan dan bisa juga berarti keawajiban seorang muslim dengan muslim yang lain. Kedua: shadaqah nafilah (sunnah) yang berarti bentuk-bentuk pengeluaran rumah tangga yang berkaitan dengan instrument distribusi pendapatan berbasis amal karikatif, sedekah. Sedekah tersebut antara lain yaitu:
Pertama : Shadaqah wajibah (wajib dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1) Nafaqah: Kewajiban tanpa syarat dengan menyediakan kebutuhan yang diberikan kepada pihak atau orang-orang yang menjadi tanggungannya. Nafkah tersebut ditujukan untuk enam kelompok: diri sendiri, istri, saudara, pembantu wanita, budak dan hewan peliharaan.
2) Udhiyah: Kurban binatang ternak pada saat hari raya idul adha dan hari tasyirik
3) Musaadah: Bantuan kepada orang lain yang sedang terkena musibah, tanpa ada pamrih apapun.
4) Jiwar: Bantuan yang diberikan kepada tetangga, hal ini dianjurkan oleh nabi seperti diungkapkan dalam hadis berikut “ barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hormatilah tetanggamu.”
5) Diyafah: kegiatan memberikan jamuan kepada tamu yang datang.
Kedua: Shadaqah Nafilah (sunnah dan khusus dikenakan bagi orang muslim) adalah:
1) Infaq: Sedekah yang diberikan kepada orang lain jika kondisi keuangan rumah tangganya sudah berda diatas nisab. Jadi seseorang muslim tidak dituntut untuk mendistribusikan hartanya untuk infaq sebelum memenuhi kewajiban membayar zakat.
2) Aqiqah: Kegiatan pemotongan kambing untuk anak yang dimikinya (dilahirkannya), satu ekor untuk anak perempauan dan dua ekor untuk anak laki-laki.
3) Wakaf: Menahan suatu benda untuk diambil manfaatnya untuk kepentingan umum sesuai dengan ajaran islam.
4) Wasiat : Pendistribusian harta kepada orang lain setelah pemilik harta tersebut meninggal, makksimal 1/3 harta yang ditinggalkan (warisan)
Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non ekonomi.
e. Ganti rugi terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain
Distribusi harta dapat juga terjadi karena adanya ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorang. Seseorang bisa mendapatkan harta tanpa harus mengeluarkan curahan harta tenaga karena dia mendapat ganti rugi sebagai akibat kemudaharatan yang dilakukan orang lain kepadanya.  Kegiatan tersebut antara lain:
1) Kafarat: Tebusan terhadap dosa yang dilakukan oleh orang muslim, semisal melakukan hubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan. Salah satu pilihan hukuman adalah memberikan makan fakir miskin sebanyak 60 orang.
2) Dam/diyat: tebusan atas tidak dilakukannya suatu syarat dalam pelaksanaan ibadah, seperti tidak melakukan puasa tiga hari pada saat melaksanakan ibadah haji. Tarifnya setara dengan seekor kambing.
3) Nudzur: perbuatan untuk menafkahkan atau mengorbankan sebagian harta yang dimilikinya untuk mendapatkan ridha Allah Swt atas keberhasilan pencapaian sesuatu yang menjadi keinginannya. Sipelaku dapat menentukan sendiri.
f. Barang Temuan
Salah satu bentuk distribusi harta secara nonekonomi adalah penguasaan seseorang atas harta temuan sehingga apabila ada seseorang telah menemukan suatu barang dijalan atau disuatu tempat umum, maka harus diteliti terlebih dahulu: apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkkan. Misalnya emas, perak, permata dan pakaian, maka barang tersebut harus disimpan dan diumumkan untuk dicari siapa pemiliknya. Jika selama dalam pengumuman ada pemiliknya yang datang maka harta tersebut harus diserahkan. Akan tetapi jika tidak ada yang datang atau tidak ada yang dapat membuktikan bahwa harta tersebut memang miliknya maka harta tersebut menjadi milik orang yang menemukan dan harus dikeluarkan khums (1/5) dari harta tersebut sebagai zakatnya.

__________________________________________________________________

DAFTAR PUSTAKA

Al-Hanif, Rifkky dkk. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Sinar Kurnia

An-Nabahan ,M Faruq.Sistem Ekonomi Islam, Yogyakarta: UII Press Yoyakarta, 2002
Chapra, M Umar dkk. Etika Ekonomi Politik.Surabaya: Risalah Gusti,1997
Ilmi, Makhalul.Teori dan Praktek Mikro Keuangan Syariah. Yogyakarta: UII   Press Yoyakarta, 2002
Haider Naqvi, Syed Nawab.Menggagas Ilmu Ekonomi Islam.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003
Nasutin, Mustafa Edwin dkk.Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2006
Nawawi, Ismail.Ekonomi Islam. Surabaya: Cv. Putra Media Nusantara, 2009
Pusat Pengkajian dan Pengambangan ekonomi (P3EI).Ekonomi Islam.Jakarta: PT.Raja Grafindo, 2008
Rahardjo, M Dawam..Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Pt.tiara Wacana1990
Sholahuddin, Muhammad.Asas-Asas Ekonomi Islam. Jakarta: PT.Raja Grafindo. 2007
Siddiqi, Muhammad Nejatullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara,1991
http:sescipb.co.cc/index.php?option=com conten&view=article&id=53:distribusi-pendapatan&catid=39:makro&itemid=54
http://p3ei.blogdetik.com/distribusi-pendapatan/
http://dansite.wordpress.com/2009/03/25/pengertian-distribusi/
http://kanal3.wordpress.com/2010/05/20/%E2%80%9Cstudy-hadits-ekonomibagaimanakah-konsep-distribusi-dalam-islam/