Sabtu, 19 Januari 2013

Konsumsi Dalam Ekonomi Islam


A. Pengerrtian Konsumsi
Dalam mendefinisikan konsumsi terdapat perbedaan di antara para pakar ekonom, namun konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan yang mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Pelaku konsumsi atau orang yang menggunakan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya disebut konsumen. Perilaku konsumen adalah kecenderungan konsumen dalam melakukan konsumsi, untuk memaksimalkan kepuasannya. Dengan kata lain, perilaku konsumen adalah tingkah laku dari konsumen, dimana mereka dapat mengilustrasikan pencarian untuk membeli, menggunakan, mengevaluasi dan memperbaiki suatu produk dan jasa mereka. Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
 
B. Urgensi Konsumsi
Konsumsi memiliki urgensi yang sangat besar dalam setiap perekonomian, karena tiada kehidupan bagi manusia tanpa konsumsi. Oleh karena itu, kegiatan ekonomi mengarah kepada pemenuhan tuntutan konsumsi bagi manusia. Sebab, mengabaikan konsumsi berarti mengabaikan kehidupan dan juga mengabaikan penegakan manusia terhadap tugasnya dalam kehidupan.
Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda perekonomian.
 
C. Tujuan Konsumsi
Tujuan utama konsumsi seorang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsumsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengamdian kepada Allah akan menjadikan konsumsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Sebab hal-hal yang mubah bisa menjadi ibadah jika disertai niat pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah, seperti: makan, tidur dan bekerja, jika dimaksudkan untuk menambah potensi dalam mengabdi kepada Ilahi.  Dalam ekonomi islam, konsumsi dinilai sebagai sarana wajib yang seorang muslim tidak bisa mengabaikannya dalam merealisasikan tujuan yang dikehendaki Allah dalam penciptaan manusia, yaitu merealisasikan pengabdian sepenuhnya hanya kepada-Nya, sesuai firman-Nya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menghamba kepada-Ku.” (Q.S. Adz-Dzariyat: 56)
Karena itu tidak aneh, bila islam mewajibkan manusia mengkonsumsi apa yang dapat menghindarkan dari kerusakan dirinya, dan mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah kepadanya.
Sedangkan, konsumsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan manusia di dalamnya, baik kegiatan ekonomi maupun bukan. Berdasarkan konsep inilah, maka beredar dalam ekonomi apa yang disebut dengan teori: “Konsumen adalah raja.” Di mana teori ini mengatakan bahwa segala keinginan konsumen adalah yang menjadi arah segala aktifitas perekonomian untuk memenuhi kebutuhan mereka sesuai kadar relatifitas keinginan tersebut. Bahkan teori tersebut berpendapat bahwa kebahagiaan manusia tercermin dalam kemampuannya mengkonsumsi apa yang diinginkan.
 
D. Sifat-Sifat Atau Norma Etika Konsumen
Menurut Yusuf Qardhawi, ada beberapa norma dasar yang menjadi landasan dalam berperilaku konsumsi seorang muslim antara lain:
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
Harta diberikan Allah SWT kepada manusia bukan untuk disimpan, ditimbun atau sekedar dihitung-hitung tetapi digunakan bagi kemaslahatan manusia sendiri serta sarana beribadah kepada Allah. Konsekuensinya, penimbunan harta dilarang keras oleh Islam dan memanfaatkannya adalah diwajibkan.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
Seorang muslim senantiasa membelanjakan hartanya untuk kebutuhan-kebutuhan yang bermanfaat dan tidak berlebihan (boros/israf). Sebagaimana seorang muslim tidak boleh memperoleh harta haram, ia juga tidak akan membelanjakannya untuk hal yang haram. Beberapa sikap yang harus diperhatikan adalah:
a. Menjauhi berhutang
Setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan dengan pengeluarannya. Jadi berhutang sangat tidak dianjurkan, kecuali untuk keadaan yang sangat terpaksa.
b. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
Tidak sepatutnya seorang muslim memperbanyak belanjanya dengan cara menjual asset-aset yang mapan dan pokok, misalnya tempat tinggal. Nabi mengingatkan, jika terpaksa menjual asset maka hasilnya hendaknya digunakan untuk membeli asset lain agar berkahnya tetap terjaga.
3. Tidak hidup mewah dan boros.
Kemewahan dan pemborosan yaitu menenggelamkan diri dalam kenikmatan dan bermegah-megahan sangat ditentang oleh ajaran Islam. Sikap ini selain akan merusak pribadi-pribadi manusia juga akan merusak tatanan masyarakat. Kemewahan dan pemborosan akan menenggelamkan manusia dalam kesibukan memenuhi nafsu birahi dan kepuasan perut sehingga seringkali melupakan norma dan etika agama karenanya menjauhkan diri dari Allah. Kemegahan akan merusak masyarakat karena biasanya terdapat golongan minoritas kaya yang menindas mayoritas miskin.
4. Kesederhanaan.
Membelanjakan harta pada kuantitas dan kualitas secukupnya adalah sikap terpuji bahkan penghematan merupakan salah satu langkah yang sangat dianjurkan pada saat krisis ekonomi terjadi. Dalam situasi ini sikap sederhana yang dilakukan untuk menjaga kemaslahatan masyarakat luas.
5. Mementingkan kehendak sosial dibandingkan dengan keinginan yang benar-benar bersifat pribadi.
6. Konsumen akan berkumpul untuk saling bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan semangat islam.
7. Konsumen dilarang mengkonsumsi barang atau jasa yang penggunaannya dilarang oleh agama islam.
 
E. Konsep Penting dalam Konsumsi
Pada dasarnya konsumsi dibangun atas dua hal, yaitu, kebutuhan (hajat) dan kegunaan atau kepuasan (manfaat). Secara rasional, seseorang tidak akan pernah mengkonsumsi suatu barang manakala dia tidak membutuhkannya sekaligus mendapatkan manfaat darinya. Dalam prespektif ekonomi Islam, dua unsur ini mempunyai kaitan yang sangat erat (interdependensi) dengan konsumsi itu sendiri. Mengapa demikian?, ketika konsumsi dalam Islam diartikan sebagai penggunaan terhadap komoditas yang baik dan jauh dari sesuatu yang diharamkan, maka, sudah barang tentu motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan aktifitas konsumsi juga harus sesuai dengan prinsip konsumsi itu sendiri. Artinya, karakteristik dari kebutuhan dan manfaat secara tegas juga diatur dalam ekonomi Islam.
a) Kebutuhan (Hajat)
"manusia adalah makhluk yang tersusun dari berbagai unsur, baik ruh, akal, badan maupun hati. Unsur-unsur ini mempunyai keterkaitan antar satu dengan yang lain. Misalnya, kebutuhan manusia untuk makan, pada dasarnya bukanlah kebutuhan perut atau jasmani saja, namun, selain akan memberikan pengaruh terhadap kuatnya jasmani, makan juga berdampak pada unsur tubuh yang lain, misalnya, ruh, akal dan hati. Karena itu, Islam mensyaratkan setiap makanan yang kita makan hendaknya mempunyai manfaat bagi seluruh unsur tubuh".
Ungkapan di atas hendaknya menjadi perhatian kita, bahwa tidak selamanya sesuatu yang kita konsumsi dapat memenuhi kebutuhan hakiki dari seluruh unsur tubuh. Maksud hakiki di sini adalah keterkaitan yang positif antara aktifitas konsumsi dengan aktifitas terstruktur dari unsur tubuh itu sendiri. Apabila konsumsi mengakibatkan terjadinya disfungsi bahkan kerusakan pada salah satu atau beberapa unsur tubuh, tentu itu bukanlah kebutuhan hakiki manusia. Karena itu, Islam secara tegas mengharamkan minum-minuman keras, memakan anjing, dan sebagainya dan seterusnya.
Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai khalifah di muka bumi, manusia juga dibebani kewajiban membangun dan menjaganya, yaitu, sebuah aktifitas berkelanjutan dan terus berkembang yang menuntut pengembangan seluruh potensinya disertai keseimbangan penggunaan sumber daya yang ada. Artinya, Islam memandang penting pengembangan potensi manusia selama berada dalam batas penggunaan sumber daya secara wajar. Sehingga, kebutuhan dalam prespektif Islam adalah, keinginan manusia menggunakan sumber daya yang tersedia, guna mendorong pengembangan potensinya dengan tujuan membangun dan menjaga bumi dan isinya.
b) Kegunaan atau Kepuasan (manfaat)
Sebagaimana kebutuhan di atas, konsep manfaat ini juga tercetak bahkan menyatu dalam konsumsi itu sendiri. Para ekonom menyebutnya sebagai perasaan rela yang diterima oleh konsumen ketika mengkonsumsi suatu barang. Rela yang dimaksud di sini adalah kemampuan seorang konsumen untuk membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga yang berbeda.
Ada dua konsep penting yang perlu digaris bawahi dari pengertian rela di atas, yaitu pendapatan dan harga. Kedua konsep ini saling mempunyai interdependensi antar satu dengan yang lain, mengingat kemampuan seseorang untuk membeli suatu barang sangat tergantung pada pemasukan yang dimilikinya. Kesesuaian di antara keduanya akan menciptakan kerelaan dan berpengaruh terhadap penciptaan prilaku konsumsi itu sendiri. Konsumen yang rasional selalu membelanjakan pendapatannya pada berbagai jenis barang dengan tingkat harga tertentu demi mencapai batas kerelaan tertinggi.
Sekarang bagaimanakah Islam memandang manfaat, apakah sama dengan terminologi yang dikemukakan oleh para ekonom pada umumnya ataukah berbeda? Beberapa ayat al-Qur’an  mengisyaratkan bahwa manfaat adalah antonim dari bahaya dan terwujudnya kemaslahatan. Sedangkan dalam pengertian ekonominya, manfaat adalah nilai guna tertinggi pada sebuah barang yang dikonsumsi oleh seorang konsumen pada suatu waktu. Bahkan lebih dari itu, barang tersebut mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.
Jelas bahwa manfaat adalah terminologi Islam yang mencakup kemaslahatan, faidah dan tercegahnya bahaya. Manfaat bukan sekedar kenikmatan yang hanya bisa dirasakan oleh anggota tubuh semata, namun lebih dari itu, manfaat merupakan cermin dari terwujudnya kemaslahatan hakiki dan nilai guna maksimal yang tidak berpotensi mendatangkan dampak negatif di kemudian hari
 
F.Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau
keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya
kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
a. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
b. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua
c. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat. Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep 'kepuasan' dengan 'pemenuhan kebutuhan' (yang terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara' yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah.
 
G. Prinsip-Prinsip Konsumsi
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5. Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
 
H. Kaidah-Kaidah Konsumsi
Konsumen non muslim tidak mengenal istilah halal atau haram dalam masalah konsumsi. Karena itu dia akan mengkonsumsi apa saja, kecuali jika dia tidak bisa memperolehnya, atau tidak memiliki keinginan untuk mengkonsumsinya.
Adapun konsumen muslim, maka dia komitmen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum yang disampaikan dalam syariat untuk mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin, dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak madharatnya, baik bagi konsumen sendiri maupun yang selainnya.
Berikut ini merupakan kaidah-kaidah terpenting dalam konsumsi:
1. Kaidah Syariah
Yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
a. Kaidah akidah, yaitu mengetahui hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/ beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk yang mendapatkan beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya. Jika seorang muslim menikmati rizki yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka demikian itu bertitik tolak dari akidahnya bahwa ketika Allah memberikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya, maka Dia senang bila tanda nikmat-Nya terlihat pada hamba-hamba-Nya.
b. Kaidah ilmiah, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukam-hukum yang berkaitan dengannya, apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
c. Kaidah amaliah, yaitu merupakan aplikasi dari kedua kaidah yang sebelumnya, maksudnya memperhatikan bentuk barang konsumsi. Sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut, seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.  
2. Kaidah Kuantitas
Yaitu tidak cukup bila barang yang dikonsumsi halal, tapi dalam sisi kuantitas (jumlah) nya harus juga dalam batas-batas syariah, yang dalam penentuan kuantitas ini memperhatikan beberapa faktor ekonomis, sebagai berikut:
a. Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta (boros) dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat. Boros dan pelit adalah dua sifat tercela, dimana masing-masing memiliki bahaya dalam ekonomi dan sosial. Karena itu terdapat banyak Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengecam kedua hal tersebut, dan karena masing-masing keluar dari garis kebenaran ekonomi yang memiliki dampak-dampak yang buruk.
b. Kesesuaian antara konsumsi dan pemasukan, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
c. Penyimpanan (menabung) dan pengembangan (investasi), artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3. Kaidah Memperhatikan Prioritas Konsumsi
Yaitu, di mana konsumen harus memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
a. Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya, dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat (yakni memelihara jiwa, akal, agama, keturunan dan kehormatan). Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan dan pernikahan.
b. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, yakni kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
c. Tersier, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Pemenuhan kebutuhan ini tergantung pada bagaimana pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder.
4. Kaidah Sosial
Yaitu mengetahui faktor-faktor sosial yang berpengaruh dalam kuntitas dan kualitas konsumsi, yakni memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
a. Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
b. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
c. Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain.
5. Kaidah Lingkungan
Yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam yang ada di bumi dan keberlanjutannya (hasil olahan dari sumber daya alam), serta tidak merusak lingkungan, baik bersifat materi maupun non materi.
6. Kaidah Larangan mengikuti dan Meniru
Yaitu tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsumsi islami, seperti mengikuti dan meniru pola konsumsi masyarakat kafir dan larangan bersenang-senang (hedonis), misalnya: suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.
 
I. Konsep Maslahah Dalam Prilaku Konsumen Islami
Dalam pandangan Islam kepuasan didasarkan pada suatu konsep yang disebut dengan maslahah. Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini. Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah. Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu ‘religious duty‘ atau ibadah. Tujuannya bukan hanya kepuasan di dunia tapi juga kesejahteraan di akhirat. Semua aktivitas tersebut, yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut ‘needs’ atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi. Mencukupi kebutuhan – dan bukan memenuhi kepuasan/keinginan – adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
1. Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu.
2. Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
3. Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Berdasarkan kelima elemen di atas,maslahah dapat dibagi dua jenis: pertama, maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan kedua: maslahah terhadap elemen-elemen yang menyangkut hanya kehidupan akhirat. Dengan demikian seorang individu Islam akan memiliki dua jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
2. Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai ‘kepuasan’ di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu, konsumen Islam, karena memiliki alokasi untuk hal-hal yang menyangkut akhirat, akan mengkonsumsi barang lebih sedikit daripada non-muslim. Hal yang membatasinya adalah konsep maslahah tersebut di atas. Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan/utility mengandung maslahah di dalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan layak dikonsumsi oleh umat Islam. Dalam membandingkan konsep ‘kepuasan’ dengan ‘pemenuhan kebutuhan’ (yang  terkandung di dalamnya maslahah), kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan tujuan hukum syara’ yakni antara daruriyyah, tahsiniyyah dan hajiyyah. Penjelasan dari masing-masing tingkatan itu sebagai berikut:
1. Daruriyyah: Tujuan daruriyyah merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi penciptaan kesejahteraan di dunia dan akhirat, yaitu mencakup terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan atau agama, akal/intelektual,  keturunan dan keluarga serta harta benda. Jika tujuan daruriyyah diabaikan, maka tidak akan ada kedamaian, yang timbul adalah kerusakan (fasad) di dunia dan kerugian yang nyata di akhirat.
2. Hajiyyah: Syari’ah bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilangkan kesempitan. Hukum syara’ dalam kategori ini tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi melainkan menghilangkan kesempitan dan berhati-hati terhadap lima hal pokok tersebut.
3. Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan nyaman di dalamnya. Terdapat beberapa provisi dalam syariah yang dimaksudkan untuk mencapai pemanfaatan yang lebih baik, keindahan dan simplifikasi dari daruriyyah dan hajiyyah. Misalnya dibolehkannya memakai baju yang nyaman dan indah.
 
J. Perbedaan Perilaku Konsumen Muslim dengan Perilaku Konsumen Konvensional
Konsumen Muslim memiliki keunggulan bahwa mereka dalam memenuhi kebutuhannya tidak sekadar memenuhi kebutuhan individual (materi), tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial (spiritual). Konsumen Muslim ketika mendapatkan penghasilan rutinnya, baik mingguan, bulanan, atau tahunan, ia tidak berpikir pendapatan yang sudah diraihnya itu harus dihabiskan untuk dirinya sendiri, tetapi karena kesadarannya bahwa ia hidup untuk mencari ridha Allah, sebagian pendapatannya dibelanjakan di jalan Allah (fi sabilillah). Dalam Islam, perilaku seorang konsumen Muslim harus mencerminkan hubungan dirinya dengan Allah (hablu mina Allah) dan manusia (hablu mina an-nas).
Konsep inilah yang tidak kita dapati dalam ilmu perilaku konsumen konvensional. Selain itu, yang tidak kita dapati pada kajian perilaku konsumsi dalam perspektif ilmu ekonomi konvensional adalah adanya saluran penyeimbang dari saluran kebutuhan individual yang disebut dengan saluran konsumsi sosial. Alquran mengajarkan umat Islam agar menyalurkan sebagian hartanya dalam bentuk zakat, sedekah, dan infaq. Hal ini menegaskan bahwa umat Islam merupakan mata rantai yang kokoh yang saling menguatkan bagi umat Islam lainnya.
 
K. Hal-Hal Yang Mempengaruhi Konsumsi
Pendapatan memainkan yang sangat penting dalam teori konsumsi dan sangat menentukan tingkat konsumsi. Selain pendapatan, sesungguhnya konsumsi ditentukan juga oleh factor-faktor lain yang sangat penting, antara lain adalah:
1. Selera
2. Faktor sosial ekonomi, misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan, dan keadaan keluarga.
3. Kekayaan
4. Keuntungan atau kerugian kapital
5. Tingkat bunga
6. Tingkat harga


DAFTAR PUSTAKA
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Group), 2006
Anto, Hendrie. Pengantar Ekonomi Mikro Islam,Yogyakarta: Ekonosia, 2003
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama). Padang: Andalas University Press, 2006
Joesron, Tati Suhartati.  Teori Ekonomi Mikro, Jakarta: Salemba Empat, 2003
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam (Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), 1995
Karim, Adiwarman. Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: Rajawali Pers, 2007.
Muflih, Muhammad. Perilaku Konsumen dalam Perspektif Ilmu Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2005
Nasution, Mustafa Edwin, dkk. Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1997
Siddiqi, Muhammad Najetullah. Kegiatan Ekonomi Dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam: Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonosia, 2003
Sukirno, Sadono. Mikro Ekonomi Teori Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994
Suparmoko, M. Pengantar Ekonomika Makro. Yogyakarta: BPFE, 1998
Suprayitno, Eko. Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005. Efendi, Satria M. Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Khalab, Abdul Wahab. Ushul fiqh. Jakarta: pustaka Amani, 2003
Romli SA, Muqaramah Mazahib fi Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Tim Penyusun, Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta : PT. Pustaka Van Hoeve
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003
Muhammad Zulifan, “Seri Ekonomi Islam: Konsep Kebutuhan (1)”, dalam
http://muhammadzulifan. Multiply.com/journal/item/14 (17 Maret 2010)

Minggu, 13 Januari 2013

Prinsip Produk Ekonomi Islam


A. Pengertian Produksi
Dalam literatur ekonomi islam berbahasa arab produksi adalah “Intaj” dari kata Nataja  .Dr. Muhammad Rawwas Qalahji juga memberikan padangan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata “Al-Intaj” yang secara harfiyah dimaknai dengan Ijadu Sil’atin “mewujudkan atau mengadakan sesuatu” atau khidmatu mu’ayyanatin Bi Istikhdami Muzayyajin Min ‘Anashir Al-Intaj Dhamina Itharu Zamanin Muhaddadin “pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas”.
Taqiyuddin An-Nabhani”, dalam mengantarkan pemahaman tentang ‘produksi’, ia lebih suka memakai kata  istishna’ untuk mengartikan ‘produksi’ dalam bahasa Arab.
An-Nabhani dalam bukunya ‘An-Nidzam Al-Iqtishadi Fi Al-Islam” memahami produksi itu sebagai sesuatu yang mubah dan jelas berdasarkan As-Sunnah.  Sebab, Rasulullah SAW pernah membuat cincin.
Diriwayatkan dari Anas yang mengatakan “Nabi SAW telah membuat cincin.” HR. Imam Bukhari.
Dari Ibnu Mas’ud: “Bahwa Nabi SAW telah membuat cincin yang terbuat dari emas.” HR. Imam Bukhari. Beliau juga pernah membuat mimbar.
Dari Sahal berkata: “Rasulullah SAW telah mengutus kepada seorang wanita, kata beliau. Perintahkan anakmu si tukang kayu itu untuk membuatkan sandaran tempat dudukku, sehingga aku bisa duduk di atasnya.” HR. Imam Bukhari.
Pada masa Rasulullah, orang-orang biasa memproduksi barang. Dan beliau pun mendiamkan aktifitas mereka. Sehingga diamnya beliau menunjukkan adanya pengakuan “taqrir” beliau terhadap aktifitas berproduksi mereka . Status taqrir dan perbuatan Rasul itu sama dengan sabda beliau, artinya sama merupakan dalil syara’.
Sumber-sumber daya alam yang diciptakan allah sangat penting. Dalam sistem ekonomi islam kata produksi merupakan salah satu kunci terpenting. Pentingnya melakukan produksi adalah sebagai berikut:
1. karena produksi menentukan kemakmuran suatu bangsa dan taraf hidup manusia.  Al Qur’an telah meletakkan landasan yang jelas tentang produksi.  Salah satu diantaranya adalah diperintahkannya bekerja keras dalam mencari kehidupan agar tidak mengalami kegagalan atau tertinggal dalam berjuag demi kelangsungan hidupnya.
2. Allah telah menganugerahkan alam semesta untuk kesejahteraan manusia. Sebagai khalifah di Bumi Manusia diberikan kebebasan dalam mengelola kekayaan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk memperbaiki keadaan ekonomi individu dan masyarakat manusia, dalam mengelola kekayaan telah diberikan batasan yang jelas dalam nilai-nilai ajaran Islam .Sistem ekonomi islam menyediakan beberapa landasan teoritis sebagai berikut:
a. Keadilan ekonomi “Al-‘Adalah Al-Iqtisadiyah”.
b. Jaminan sosial “At-Takaful Ijtima’”.
c. Pemanfaatan sumber-sumber daya ekonomi produktif secara efisien.

B. Prinsip-Prinsip Produksi
Pada prinsipnya kegiatan produksi terkait seluruhnya dengan syariat Islam, dimana seluruh kegiatan produksi harus sejalan dengan tujuan dari konsumsi itu sendiri. Konsumsi seorang muslim  dilakukan untuk mencari ”falah” kebahagiaan demikian pula produksi dilakukan untuk menyediakan barang dan jasa guna falah  tersebut. Di bawah ini ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam proses produksi yang dikemukakan oleh Muhammad Al-Mubarak dalam kitabnya ”Nizam Al-Islami Al-Iqtisadi:  Mabadi Wa Qawa’id ‘Ammah  dan beberapa implikasi mendasar  bagi kegiatan produksi dan perekonomian secara keseluruhan, antara lain :
1. Seluruh kegiatan produksi  terikat pada tataran nilai moral dan teknikal yang Islami.
Sejak dari kegiatan mengorganisir faktor produksi, proses produksi hingga pemasaran dan pelayanan kepada konsumen semuanya harus mengikuti moralitas Islam. Perbedaan dari perusahaan-perusahaan non Islami tak hanya pada tujuannya, tetapi juga pada kebijakan-kebijakan ekonomi dan strategi pasarnya”. Produksi barang dan jasa yang dapat merusak moralitas dan menjauhkan  manusia dari nilai-nilai relijius tidak akan diperbolehkan. Terdapat lima jenis kebutuhan yang dipandang  bermanfaat untuk mencapai falah,  yaitu : 1. kehidupan, 2. Harta, 3. Kebenaran, 4. Ilmu pengetahuan dan 5. Kelangsungan keturunan. Selain itu Islam juga mengajarkan adanya skala prioritas ”Dharuriyah, Hajjiyah dan Tahsiniyah” dalam pemenuhan kebutuhan konsumsi serta melarang sikap berlebihan, larangan ini juga berlaku bagi segala mata rantai dalam produksinya.
2. Dilarang memproduksi dan memperdagangkan komoditas sekumpulan yang tercela karena bertentangan dengan syari’ah “haram”.
Dalam sistem ekonomi islam tidak semua barang dapat diproduksi atau dikonsumsi. Islam dengan tegas mengklasifikasikan barang-barang “silah” atau komoditas dalam dua katgori:
a. Barang-barang yang disebut Al-Qur’an Thayyibat  yaitu barang-barang yang secara hukum halal dikonsumsi dan diproduksi.
b. Khabaits adalah barang-barang yang secara hukum haram dikonsumsi dan diproduksi. Seperti penegasan Al-Qur’an dalam Surat Al-Araf Ayat 157:
“…..Dan mengahalalkan bagi mereka segala hal yang baik dan menghalalkan bagi mereka yang buruk…..”
3. Kegiatan produksi harus memperhatikan aspek sosial-kemasyarakatan, dan  memenuhi kewajiban zakat, sedekah, infak dn wakaf.
 Kegiatan produksi harus menjaga nilai-nilai keseimbangan dan harmoni dengan lingkungan sosial dan lingkungan hidup dalam masyarakat dalam skala yang lebih luas. Selain itu, masyarakat juga nerhak  menikmati hasil produksi  secara memadai dan berkualitas. Jadi produksi bukan hanya menyangkut kepentingan para produsen saja, tapi juga masyarakat secara keseluruhan. Pemerataan manfaat dan keuntungan produksi bagi  keseluruhan masyarakat dan dilakukan dengan cara yang paling baik merupakan tujuan utama kegiatan ekonomi.
4. Dilarang melakukan kegiatan produksi yang mengarah pada kezaliman. Seperti riba dimana kezaliman menjadi illat hokum bagi haramnya riba.
Penegasan Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah ayat 278-279, melandasi pandangan ini:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba yang belum dipungut jika kamu orang-orang yang beriman.
Maka jika kamu tidak mengerjakan meninggalkan sisa riba, Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Seperti dijelaskan di atas, kezaliman merupakan illat bagi haramnya riba, dan riba secara bertahapdapat menghilangkan keadialan ekonomi, yang merupakan ciri khas ekonomi islam, dan berdampak negative bagi perekonomian umat. Sayyid Sabiq dalam fiqih sunnah merumuskan empat kejahatan ekonomi yang diakibatkan riba yaitu:
1. Riba dapat mengakibatkan atau menimbulkan permusuhan antara pelaku ekonomi yang akibatnya mengancam semangat kerja sama antar mereka.
2. Riba dapat mengakibatkan milyuner-milyuner baru tanpa kerja, sebagaimana riba dapat mengakibatkan penumpukkan harta pada mereka.
3. Riba adalah senjata penjajah, dari itu dikatakan:  Penjajah berjalan di balik pedagang dan pendeta. Dan kita sudah merasakan betapa riba menjajah dan memporakporandakan negara kita.
4. Karena itu islam menganjurkan seseorang meminjamkan harta kepada saudaranya tanpa di iringi dengan bunga, lalu Allah akan membalas dengan pahala yang banyak.
Madharat atau kerusakan yang diakibatkan kerja ekonomi ribawi dapat merusak dan merugikan ekonomi pribadi, rumah tangga, perusahaan. Lebih berbahaya lagi ketika kebijakan pemerintah yang menghandalkan hutang luar negeri dengan dalil kepentingan rakyat, seperti yang dialami rakyat saat ini.
5. Permasalahan ekonomi  muncul bukan saja karena kelangkaan tetapi lebih kompleks.
Masalah ekonomi muncul bukan karena adanya kelangkaan sumber daya ekonomi untuk pemenuhan kebutuhan manusia saja, tetapi juga disebabkan oleh kemalasan dan pengabaian optimalisasi segala anugerah Allah, baik dalam bentuk sumber daya alam maupunmanusia. Sikap tersebut dalam Al-Qur’an sering disebut  sebagai kezaliman atau pengingkaran terhadap nikmat Allah.
6. Segala bentuk penimbunan “Ikhtikar” terhadap barang-barang kebutuhan bagi masyarakat adalah dilarang sebagai perlindungan syari’ah terhadap konsumen dari msyarakat. Pelaku penimbunan, menurut Yusuf Kamal mengurangi tingkat produksi untuk mengusai pasar, sangat tidak menguntungkan bagi konsumen dan masyarakat karena berkurangnya suplai dan melonjaknya harga barang. Hal ini menurut qayyim sama dengan kezaliman yang dikutuk Allah.
7. Memelihara lingkungan. Manusia memiliki keunggulan jadi manusia dibumi ditunjuk sebagai wakil “Khalifah Fil Ardh” tuhan dibumi bertugas menciptakan kehidupan dengan memanfaatkan sumber-sumber daya, “Imar Al Ard” yang dalam perspektif ekonomi islam dapat di uraikan sebagai berikut:
Pertama “setiap manusia adalah produsen, untuk menghasilkan barang-barang dan jasa yang dalam prosesnya bersentuhan langsung dengan bumi sebagai faktor utama produksi”.  Kedua “Bumi selain sebagai faktor produksi, juga berfungsi mendidik manusia mengingat kebesaran Allah”.  Ketiga “sebagai produsen dalam dalam melakukan produksi tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang merusak lingkungan hidup”.
Jadi landasan-landasan moral dalam islam seperti syarat-syarat produksi dalam islam tidak boleh mengandung Al-khabaits, keji, zalim, dan ihtikar. Dalam hal ini akan membawa implikasi  bahwa prinsip produksi  bukan sekedar efisiensi, tetapi secara luas adalah bagaimana mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber daya ekonomi dalam kerangka pengabdian manusia kepada Tuhannya.
Kegiatan produksi dalam perspektif islam bersifat (Alturistik) sehingga produsen tidak  hanya mengejar keuntungan  maksimum saja. Akan tetapi produsen harus memperhatikan dampak sosial sebagai akaibat atas proses produksi yang dilakukan. Dan produsen harus mengejar tujuan yang lebih luas sebagaimana tujuan ajaran Islam yaitu ” falah” didunia dan akhirat. Kegiatan produksi juga harus berpedoman kepada nilai-nilai keadilan dan kebajikan  bagi masyarakat. Prinsip pokok produsen yang Islami  yaitu : 1. Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan, 2. Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat sehingga segala keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini , 3. Optimasi keuntungan diperkenankan  dengan batasan kedua prinsip di atas.
C. Tujuan-Tujuan Produksi
Beberapa ahli ekonomi silam mengungkapkan tujuan-tujuan produksi menurut islam adalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok semua individu dan menjamin seseorang mempunyai standar hidup manusiawi, terhormat dan sesuai dengan martabat manusia sebagai khalifah. Dan sebagai sarana untuk mencapai tujuanya di hari kiamat kelak.
Menurut M.N Sidiqi dalam perusahaan dan pertumbuhan ekonomi dalam islam menegaskan beberapa tujuan badan usaha, yaitu:
a. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu secara wajar.
b. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan keluarga.
c. Bekal untuk generasi mendatang.
d. Merespon kebutuhan produsen secara pribadi yang memiliki ciri keseimbangan.
e. Bekal untuk anak cucu.
f. Bantuan kepada masyarakat atau berinfaq, dalam rangka beribadah kepada Allah.
Dan Sidiqi mengarahkan upaya untuk mengukuhkan setiap tujuan produksi ini dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dan juga Ibnu khaldun dan beberapa ulama’ lain berpendapat, bahwa kebutuhan manusia dapat di golongkan kedalam tiga kategori, yaitu: dharuriat “primer”, hajiat “skunder”, dan kamaliat “tersier”.
Dalam terminologi islam Dharuriat adalah kebutuhan yang secara mutlak tidak dapat dihindari, karena merupakan kebutuhan-kebutuhan yang sangat mendasar, bersifat elastis bagi kehidupan manusia.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan produksi dapat dibagi dalam dua tujuan  utama, yaitu:
1. Kebutuhan Primer dalam Individu. Para Fuquhah menetapkan hukum “fardhu‘ain” bagi setiap muslim. Untuk mengetahui primer bagi seorang muslim.  Dapat merunjuk pada beberapa nas Al-Qur’an, seperti dikemukakan Abdurrahman Al-Maliki.
a. Al-Baqarah 2: 233.
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan kekayaan kepada para ibu dengan ma’ruf.”
b. An-Nisa’ 4: 5
“Dan berilah mereka belanja dan Pakaian dari hasil harta itu dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”.
2. Kebutuhan primer bagi seluruh rakyat. Islam menetapkan bahwa negara berkewajiban menjamin pengaturanya. Al Mawardi dan Abu Ya’la dalam kitab mereka Al-Ahkam Al-Sultaniyah menyebutkan bahwa khalifah atau kepala negara berkewajiban membangun proyek-proyek seperti: Jembatan, jalan raya, irigasi, termasuk juga pengobatan, keamanan, dan pendidikan seperti yang disabdakan Rasulullah dalam satu hadis:
”Siapa yang ketika memasuki pagi hari mendapat kedaan aman kelompoknya, sehat badanya, memiliki bhan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dimilikinya”.
D. Faktor-Faktor Produksi
Dalam islam modern belum ada kesepakatan pendapat mengenai faktor- faktor produksi. Karena menurut  Abdul Hasan Muhammad Sadeq, baik Al-Qur’an maupun Al-Hadis tidak menjekaskan masalah ini secara eksplisit.
Perbedaan pandangan semakin tajam ketika mereka memperbincangkan modal sebagai faktor produksi, karena apabila modal mencakup sejumlah alat dan uang maka yang pertama akan menghasilkan sewa. Oleh karena itu menurut M. A Mannan modal menduduki tempat yang khusus dalam ekonomi islam sebagai sarana produksi yang menghasilakan tidak sebagai faktor produksi pokok melainkan melainkan sebagai perwujudan tanah dan tenaga kerja. Adapun faktor-faktor produksi itu terbagi atas enam macam, yaitu:
a. Tanah dan segala potensi ekonomi, di anjurkan Al-Qur’an untuk di olah, dan    tidak dapat dipisahkan dari proses produksi.
b. Tenaga kerja terkait langsung dengan tuntutan hak milik melalui produksi.
c. Modal, juga terlibat langsung dengan proses produksi. Karena pengertian modal mencakup pengertian produktif yang mengahsilakan barang yang di konsumsi.
Manajemen, karena ada tuntutan leadership dalam islam.
d. Teknologi.
E. Kaidah-Kaidah Produksi
Dalam ekonomi konvensional, seseorang diberikan hak untuk memproduksi segala sesuatu yang dapat mengalirkan keuntungan kepadanya, meskipun hal itu kontradiksi dengan kemaslahatan material dan moral masyarakat.
Adapun dalam ekonomi islam, seseorang produsen muslim harus komitmen dengan kaidah-kaidah syari’ah untuk mengatur kegiatan ekonominya. Dimana tujuanya pengaturan ini adalah untuk keserasian antara kegiatan ekonomi dalam kehidupan untuk merealisasikan tujuan umum syariah, mewujudkan bentuk-bentuk kemaslahatan, dan menangkal bentuk-bentuk kerusakan.
Dalam fiqih ekonomi Umar r.a kaidah-kaidah produksi yang terpenting di antaranya adalah:
1. Kiadah Syariah
Yang dimaksudkan dalam kaidah syariah disini bukan dari sisi halal dan haram saja. Akan tetapi mencakup tiga sisi:
a. Akidah adalah keyakinan seseorang muslim bahwa aktifitasnya dalam bidang perekonomian merupakan bagian daru perananya dalam kehidupan.
”kami Telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.
b. Ilmu yakni seorang muslim wajib mempelajari  hukum-hukum syari’ah yang berkaitan aktifitas perekonomianya, sehingga dia mengetahui apa yang benar dan yang salah di dalamnya.  Sepeti dalam penafsiran firman Allah surat An- Nisa’: 4
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”.
c. Amal yakni merupakan hasil aplikasi terhadap sisi aqidah dan sisi ilmiah yang dampak dalam kualitas produksi yang dihasilkan oleh seseorang muslim dan dilemparkanya kepasar.
Sesungguhnya kualitas produksi dalam ekonomi konvensional adalah berkaitan dengan kondisi permintaan yang di dukung oleh daya beli.
Sedangkan dalam ekonomi islam, kualitas produksi tunduk terhadap hukum syariah. Oleh karena itu, apa yang diperoleh syariah baik.
F.Tanggung Jawab Sosial Produksi Ekonomi Islam Terhadap Masyarakat
Dalam tanggung jawab sosial, seseorang (secara moral) harus mampu mempertanggung-jawabkan perbuatannya terhadap masyarakat apabila melakukan perbuatan tercela. Tanggung jawab sosial ini diiringi norma-norma sosial, karenanya rasa malu dalam diri seseorang dapat memperkuat tanggung jawab sosialnya. Karakteristik tanggung jawab pekerjaan ialah hasil pekerjaan barang atau jasa perlu dijaga mutunya supaya jangan sampai mengecewakan konsumen. Untuk menghasilkan produk bermutu tinggi, perlu peningkatan kualitas pekerjanya itu sendiri, karena ia merupakan pelaku utama dalam menghasilkan produk bermutu. Artinya, dalam lapangan pekerjaan, produk barang bermutu dan pekerja yang memiliki SDM tinggi merupakan hal yang tak dapat dipisahkan. Lebih jauh lagi, pekerja berkualitas adalah pekerja yang beriman dan bertakwa, berbudi pekerti luhur, penuh dedikasi dan tanggung jawab, sehat jasmani dan rohani serta memiliki keterampilan (skill) dalam bidang garapannya.
Di samping itu, dibutuhkan tanggung jawab kuantitas perhitungan angka (accountability), karena pertanggung-jawaban bukan hanya pada pimpinan tetapi bertanggung-jawab kepada Tuhan. Manusia harus konsisten untuk melakukan tanggung jawab terhadap sesama dan lingkungannya (ekologi), karena manusia berada pada dinamika keduanya. Dunia bisnis hidup di tengah-tengah masyarakat. Kehidupan bisnis tak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Seorang pebisnis atau perusahaan memiliki tanggung-jawab sosial, karena bisnis tidak terbatas sampai menghasilkan barang atau jasa kepada konsumen dengan harga murah, tapi ada yang berpendapat lain, yakni dipengaruhi oleh etik, peraturan dan aksi konsumen.
Selain dengan masyarakat, perusahaan bertanggung-jawab melindungi konsumen melalui pertimbangan dampak terhadap lingkungan hidup. Hal ini, karena banyak perusahaan yang sering melakukan tindakan kurang seimbang, karena tidak memperdulikan lingkungan dengan memproduksi barang tak bermutu, cukup sekali buang, makanan mengandung beracun, limbah dan lainnya. Kesemuanya itu dapat membunuh (masyarakat) konsumen secara perlahan-lahan.
Tanggung jawab sosial dari bisnis ialah pelaksanaan etik bisnis yang mencakup proses produksi, distribusi barang dan jasa sampai penjagaan kelestarian lingkungan hidup dari ancaman polusi dan sebagainya. Pelaku usaha atau perusahaan tidak hanya bertanggung-jawab terhadap pemenuhan kebutuhan sesaat konsumen, tapi perlu mempertimbangkan jangka panjang kelangsungan hidup manusia dan ekologi untuk kemaslahatan umum.
Pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan usaha komersial lainnya, sudah saatnya memperhatikan hal-hal yang berkaitan keabsahan transaksinya, karena itu merupakan bentuk tanggung jawab yang mula-mula diselidiki. Seharusnya, tanggung jawab dalam setiap kegiatan ekonomi muncul dari kesadaran yang terdapat pada individu maupun dalam penekanan hukum dari pihak berwenang, seperti melalui perundang-undangan. Saat ini, produk-produk tertentu yang dipasarkan ternyata masih banyak yang mempengaruhi buruknya kondisi lingkungan, baik berupa keruksakan ekologi maupun kesehatan manusia. Padahal, sebagaimana Alimin dkk. (2004), setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Karena itu, perlu pengawasan tehadap bahaya kerugian yang menimpa pihak masyarkat (konsumen) dan lingkungan hidup.
Berbagai pelanggaran lingkungan, seperti langkanya air bersih akibat limbah pabrik, makanan beracun dan sebagainya telah menyumbangkan berbagai penyakit bahkan kematian warga yang mengkonsumsi. Hal itu, merupakan perbuatan melanggar hukum (i’tida) secara tidak langsung yang harus dipertanggung-jawabkan pihak pelaku usaha, perusahaan atau badan-badan komersial.
Setiap perbuatan berbahaya dalam Islam tidak dibenarkan (ghairu masyru’) dan setiap perbuatan tidak dibenarkan yang membawa bahaya harus dipertanggung-jawabkan, baik kerugian bahaya materil atau jiwa sebagai akibat buruk dari produk pelaku usaha.
Tetapi islam melindungi kepentingan si miskin dengan memberikan tanggung jawab moral terhadap si kaya untuk memperhatikan si miskin. Islam mengakui sistem hak milik pribadi secara terbatas, setiap usaha apa saja yang mengarah ke penumpukan
kekayaan yang tidak layak dalam tangan segelintir orang, dikutuk! Al-Qur’an menyatakan agar si kaya mengeluarkan sebagian dari rezekinya untuk kesejahteraan masyarakat, karena kekayaan harus tersebar dengan baik. Dengan cara ini, Islam menyetujui dua pembentukan modal yang berlawanan yaitu konsumsi sekarang yang berkurang dan konsumsi mendatang yang bertambah. Dengan demikian memungkinkan modal memainkan peranan yang sesungguhnya dalam proses produksi. Karena itu tingkat keuntungan pada usaha ekonomi yang khusus antara lain dapat digunakan sebagai salah satu sarana penentuan modal.
Kelihatannya tidak ada ciri-ciri istimewa yang dapat dianggap sebagai organisasi
dalam suatu kerangkaIs la m. Tetapi ciri-ciri khusus berikutnya dapat diperhatikan,  untuk memahami peranan organisasi dalam ekonomi Islam. Pertama, dalam ekonomi Islam pada hakikatnya lebih berdasarkan ekuiti (equity-based) daripada berdasarkan pinjaman (loan-based), para manajer cenderung mengelola perusahaan yang bersangkutan dengan pandangan untuk membagi deviden di kalangan pemegang saham atau berbagi keuntungan diantara mitra sutau usaha ekonomi.
Kekuatan – kekuatan koperatif melalui berbagai bentuk investasi berdasarkan persekutuan dalam bermacam-macam bentuk (mudarabah, musyarakah, dll).  Kedua, pengertian keuntungan biasa mempunyai arti yang lebih luas dalam kerangka ekonomi Islam karena bunga pada modal tidak diperkenankan. Modal manusia yang diberikan manajer harus diitegerasikan dengan modal yang berbentuk uang. Pengusaha penanam modal dan usahawan menjadi bagian terpadu dalam organisasi dimana keuntungan biasa menjadi urusan bersama. Ketiga, karena sifat terpadu organisasi inilah tuntutan akan integritas moral, ketetapan dan kejujuran dalam perakunan (accounting) barangkali jauh lebih diperlukan daripada dalam organisasi sekular mana saja, dimana para pemilik modalnya mungkin bukan meruapakn bagian ari manajemen.Is la m menekankan kejujuran, ketepatan dan kesungguhan dalam urusan perdagangan, karena hal itu mengurangi biaya penyediaan (supervisi) dan pengawasan. Faktor manusia dalam produksi dan strategi usaha barangkali mempunyai signifikansi lebih diakui dibandingkan dengan strategi manajemen lainnya yang didasarkan pada memaksimalkan keuntungan atau penjualan.
-----------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Rustam Effendi, Produksi Dalam Islam, Megister Studi Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Perpustakaan Nasional RI, Yogyakarta, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1984
Jaribah Bin Ahmad Al-Haritsi, Fikih Ekonomi Umar Bin Al-Khatab, Khalifa, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Grup, 2006
Monzer Kahf, Ekonomi Islam,”Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam”, Yogjakarta: Pustaka Pelajar,1995
Bustanuddin Agus, Islam Dan Ekonomi “Suatu Tinjauan Sosiologi Agama”, Yogyakarta: Andalas University Press, 2006
Ismail Nawawi, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2010
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami
, Yogyakarta: Jalasutra, 2003
Mahmud Abu Saud, Garis-Garis Besar Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 1984
Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Jakarta : PT. Bangkit Daya Insan, 1995
Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta : Jalasutra, 2003
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
http://Zonaekis.com/Faktor-Faktor Produksi Dalam Islam.
Xa.ying.com/kq/groups/../Prinsip Produksi Dalam Islam.doc.
http://Nurazifah.blogspot.com/2010/04/Prinsip Konsumsi Produksi dan.html.
http://www.scribd.com/doc/39317454/Mengenal-Ekonomi-Islam.
http://latifrusdi26.blogsome.com/2007/09/18/tanggung-jawab-sosial-perspektif-islam/.

Sabtu, 05 Januari 2013

Harta Dan Ekonomi Dalam Perspektif Islam


A. Pandangan Islam Tentang Harta
Menurut Qardhowi (1995), dalam kutipannya Abdul Kohar Mudzakir, menyatakan bahwa norma menengah yang paling menonjol dalam lapangan perekonomian Islam ini terletak pada dua sendi, yaitu:
1. Pemahaman Islam tentang kedudukan harta. Sikap Islam terhadap harta adalah bagian dari sikapnya terhadap kehidupan dunia. Dalam memandang dunia, Islam selalu bersikap tengah-tengah dan seimbang. Islam tidak condong kepada paham yang menolak dunia secara mutlak, yang mengangap dunia adalah sumber kejahatan yang harus dilenyapkan. Islam juga tidak condong kepada  paham yang menjadikan kehidupan dunia sebagai  tujuan akhir, tapi sebagai sarana untuk mendapatkan kehidupan akhirat kelak.
2. Pemahaman Islam tentang hak individu. Islam berdiri di antara kelompok yang mengakui hak individu, sehingga seseorang menganggap harta itu hak miliknya secara mutlak, dan kelompok yang memerangi hak tersebut, sehingga berusaha untuk melenyapkan dengan sekuat tenaga.
Kekayaan bisa juga dikatakan sebagai harta karena pada hakikatnya keduanya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama. Kata “kekayaan” membangkitkan semua gairah dan emosi dalam hati manusia karena setiap orang yang berakal sehat pasti menginginkan kekayaan.
Islam melarang pula umatnya untuk bersifat bakhil dalam mengkonsumsi harta. Baik harta maupun modal itu  tidak boleh ditimbun, wajib diinfakkan dan dizakatkan. Sifat-sifat bakhil dan kata-kata yang semakna dengannya dalam alquran bukan hanya tidak mau membelanjakan harta untuk hal-hal yang wajib, seperti untuk kepentingan diri, keluarga dan  zakat, tetapi juga dari hal-hal yang sunat berupa kemaslahatan umum. Seperti infak, wakaf, sedekah, pajak, membantu orang yang sedang dalam kesempitan adalah kemaslahatan umum yang tidak mungkin dipenuhi kalau anggota masyarakat bersifat bakhil.
Pada segi yang lain, Islam menyuruh membelanjakan harta. Tetapi dengan perintah ini, ia tidak membenarkan harta dengan royal dan boros untuk memuaskan hawa nafsu sendiri. Tetapi Islam menyuruh untuk membelanjakan harta dengan disertai syarat fi sabilillah (di jalan Allah), seperti firmannya:
“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." (al-Baqarah: 219).
Umumnya manusia mencari kekayaan sebagai sarana untuk meraih kehormatan dan kekuasaan. Orang kaya dianggap memiliki segalanya. Orang kaya dan berkuasa dapat menentukan nasib orang-orang yang bergantung kepadanya. Dan bahkan orang yang kaya dan berkuasa bisa menyingkirkan dan mengangkat para raja dan penguasa.
Ustadz Mustafa Zarqa mengatakan bahwa menurutnya, kebanyakan para fuqaha memfokuskan harta pada dua faktor yang terdiri dari dua unsur: ‘ainiah dan ‘uruf (jasa). Yang pertama maksudnya adalah harta yang berwujud materi konkret. Sedangkan yang kedua: ialah berbagai hal yang dalam pandangan semua orang atau sebagiannya saja bernilai yang karena itu dapat dibarterkan dan yang lain.
Dari realitas ini, Mustafa Zarqa mendefinisikan harta ialah “harta adalah wujud materi konkret yang bernilai uang.” Harta dalam pandangan fuqaha terbagi menjadi dua. Pertama: mutaqawwam, yakni yang disahkan syara’ untuk dimanfaatkan. Kedua, ghoiru mutaqawwam, yakni yang dilarang syara’ untuk dipergunakan. Misalnya daging babi.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembagian ini ialah, bahwa fiqih Islam hanya mengesahkan akad dengan komoditas yang mutaqawwam. Jika terjadi akad yang komoditas utamanya adalah barang haram (ghairu mutaqawwam) maka transaksi tersebut menjadi batal.
Islam memandang harta dengan acuan akidah yang disarankan al-Qur’an, yakni dipertimbangkannya kesejahteraan manusia, alam, masyarakat dan hak milik. Pandangan demikian, bermula dari landasan: iman kepada Allah, dan bahwa Dialah pengatur segala hal dan penguasa atas segalanya. Manusia sebagai makhluk ciptaanNya karena hikmah ilahiah.
Harta sebagai perantara manusia dalam kehidupan dunia. Manusia harus bekerja untuk mendapatkannya, tanpa menimbulkan penderitaan pada pihak lain. Sebab mereka pun harus mendapatkan cinta-kasih. Didalam al-Qur’an Allah menyarankan bekerja diantaranya ialah:
Artinya:
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”(al-Mulk: 15)
Dan di dalam surat yang lain:
Artinya:
“Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”(al-Jum’ah: 10).
Selanjutnya al-Qur’an melarang mengembangkan harta dengan cara menyengsarakan masyarakat, dan juga melarang memakan harta manusia dengan tidak sah. Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 188, yang artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
Dari sejumlah anjuran al-Qur’an dan pengarahannya dapat ditarik benang merahnya yaitu Islam memandang, harta terkait erat dengan pemiliknya, namun bersamaan dengan itu terkait pula unsur masyarakat sebagai peran ketiga, baik dalam kegiatan berkarya, berinfaq, atau dalam investasi, sehingga tidak melakukan kedzaliman dan memakan harta orang lain dengan zalim.

B. Ekonomi dalam Pandangan Islam
Yang dimaksud sistem ekonomi menurut pandangan Islam yaitu ilmu ekonomi yang dilaksanakan dalam praktek (penerapan ilmu ekonomi) sehari-harinya bagi individu, keluarga, kelompok masyarakat maupun pemerintah/ penguasa dalam rangka mengorganisasi faktor produksi, distribusi, dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan tunduk dalam peraturan/ perundang-undangan Islam (sunnatullah).
Dalam bahasa Arab kata “ekonomi” dinamakan mu’amalah maddiyah yaitu, aturan-aturan tentang pergaulan dan perhubungan manusia mengenai kebutuhan hidupnya. Atau dengan kata lain bisa disebut dengan Iqtishad, ialah mengatur soal-soal penghidupan manusia dengan sehemat-hematnya dan secermat-cermatnya.
Sistem ekonomi Islam merupakan pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kerangka dasar ajaran Islam dan moralitas yang baik. Keduanya saling bersimbiosis mutualistis yang kemudian melahirkan keseimbangan antara individu dan masyarakat. Maka hasilnya adalah pemenuhan materiil dan spirituil manusia dengan memanfaatkan yang baik.
Sistem ekonomi Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang dikembangkan oleh pemikiran oleh manusia yang memenuhi syarat dan ahli dalam bidangnya. Dan kalau mempelajari al-Qur’an dan al-Hadits, akan jelas bahwa sejak semula Islam mengakui, misalnya motif laba (profit) dalam kegiatan ekonomi. Namun motif itu terikat atau dibatasi oleh syarat-syarat moral, sosial, dan temperance (pembatasan diri).
Sebagai konsekuensinya suatu sistem untuk  mendukung ekonomi Islam seharusnya diformulasikan berdasarkan pandangan Islam tentang kehidupan. Berbagai aksioma dan prinsip dalam sistem seperti itu seharusnya ditentukan secara pasti dan proses fungsionalisasinya seharusnya dijelaskan agar dapat menunjukkan kemurnian dan aplikabilitasnya. Namun demikian, perbedaan yang nyata, seharusnya ditarik antara sistem ekonomi Islam dan setiap tatanan yang bersumber padanya.
Dengan demikian, sumber terpenting peraturan/ perundang-undangan perekonomian Islam  adalah al-Qur’an dan sunnah. Namun demikian, sangat disayangkan hingga sat ini belum ada suatu literatur yang mengupas tentang sistem ekonomi Islam secara menyeluruh.
Teori ekonomi Islam adalah pertengahan antara Kapitalisme dan Komunisme, mempergunakan moral dan hukum bersama, untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang praktis di atasnya.
Dengan moralnya, ia melatih mental masyarakat dan mental tiap-tiap individu masyarakat itu untuk mematuhi sistemnya yang baru tanpa ada sesuatu penghalang dari luar. Dan dengan kekuatan hukumnya, ia memberikan kepada masyarakat dan individu-individu berbagai-bagai  ikatan yang memaksa, dan memaksa mereka untu k mengikatkan diri kepada pembatasan-pembatasan sistem ini dan ikatan-ikatannya. Maka prinsip-prinsip moralnya dan hukum-hukum perundang-undangannya bersama, adalah tiang-tiang Islam dan sendi-sendinya.
Tidak dapat digambarkan bila masalah ekonomi akan diabaikan oleh seorang Ibnu Taimiyah. Ia menyaksikan sejumlah keluarga bangkrut dan kehidupan ekonomi mereka berantakan, sejak awal hidupnya. Keluarganya sendiri harus mengungsi dazn menderita kehilangan harta benda miliknya.
Ia mengamati kehancuran ekonomi secara umum, ketika negerinya dijajah Mongol. Ia berhubungan dengan seluruh orang dari berbagai tingkatan. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa setiap orang harus dijamin kecukupan hidupnya pada standar minimum, agar ia mampu mengabdi kepada Allah Yang Maha Kuasa dan hidup layak.
Pada saat yang sama, ia menekankan perlunya keadilan. Ia menekankan tanggung jawab ssetiap orang, begitu juga Negara, karena keduanya harus saling bekerja sama dan tak boleh saling berlaku aniaya. Menurutnya, keadilan merupakan nilai yang harus dihargai oleh seluruh bangsa. Ia berkata:”seluruh penduduk setuju bahwa konsekuensi dari ketidakadilan adalah kesuraman dan buah dari keadilan adalah kemasyhuran bagi seluruh bangsa.”
Sedikit lagi dari beberapa pandangan Ibnu Taimiyah ialah mengenai regulasi harga yaitu, kebutuhan pokok manusia seperti pangan, sandang, papan dan sebagainya yang harus dipenuhi dan Negara bertanggung jawab untuk mengatur kebutuhan mereka. Dalam hal ini penetapan harga oleh pemerintah adalah baik. Tetapi hak itu bersifat absolut.
Dengan cara yang sama, pikiran Ibnu Taimiyah tentang peranan Negara sangat relevan dan bernilai. Ia membahas kubutuhan adanya Negara dan kewajibannya untuk mengatur Negara kearah kondisi ekonomi penduduk yang baik.
Dalam hal keuangan publik, ia mencela system perpajakan yang tidak adil waktu itu dan menganjurkan kebijakan perpajakan yang adil. Pada sisi pengeluaran, yang selalu terabaikan sampai awal abad ini, kontribusinya sangat luar biasa.
Dalam hal ini menunjukkan adanya kedewasaan Ibnu Taimiyah dalam berpikir tentang masalah ekonomi dan keseriusannya terhadap keadilan, yang membimbingnya melalui seluruh kebijakan yang dianjurkan mengenai masalah ekonomi.
Islam sangat memperhatikan masalah pembangunan ekonomi, namun tetap menempatkannya sebagai bagian dari persoalan yang lebih besar, yaitu pembangunan umat manusia. Fungsi utama Islam adalah membimbing manusia pada jalur yang benar dan arah yang tepat. Semua aspek yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi harus menyatu dengan pembangunan umat manusia secara keseluruhan. Dasar-dasar filosofis pembangunan yang Islami dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Tauhid, yang meletakkan dasar-dasar hubungan antara Allah-manusia dan manusia dengan sesamanya.
2. Rububiyyah, yang menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya mengatur model pembangunan yang bernafaskan Islam.
3. Khilafah, yang menjelaskan status dan peran manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Pertanggungjawaban ini menyangkut manusia sebagai Muslim maupun sebagai anggota dari umat manusia itu sendiri. Dari konsep ini lahir pengertian tentang perwalian, moral, politik,ekonomi, serta prinsip-prinsip organisasi sosial.
4. Takziyah, misi utama utusan Allah adalah menyucikan manusia dalam hubungannya dengan Allah, sesamanya, alam lingkungan, masyarakat dan negara.
Islam tidak membedakan antara ekonomi dengan etika, sebagaimana juga Islam tidak membedakan antara ilmu dengan akhlak, politik dengan etika, perang dengan etika dan lain lain, sehingga dalam mengarungi kehidupannya seorang muslim haruslah memiliki budi pekerti dan akhlak yang mulia seperti yang di contohkan oleh Muhammad Rasulullah SAW. Manusia muslim individu maupun kelompok disatu sisi diberi kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, namun disisi lain, ia terikat dengan iman dan etika, sehingga ia tidak bebas mutlak dalam permasalahan ekonomi untuk menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya, yang akan dapat merugikan bagi orang lain. Masyarakat muslim juga tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumberdaya alam yang ada yang dapat berakibat merusaknya menditrubusikannya atau mengkonsumsinya. Ia terikat dengan ikatan akidah dan etika mulia, disamping juga dengan hukum-hukum Islam.
Selanjutnya dalam bukunya Suhrawardi K. Lubis, aktivitas ekonomi dalam pandangan Islam bertujuan untuk:
  1. Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana,
  2. Memenuhi kebutuhan keluarga
  3. Memenuhi kebutuhan jangka panjang
  4. Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan
  5. Memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah,
  6. Negara menyingkirkan kebinasaan (kekacauan)
Bahwa Islam sebagai agama Allah yang telah disempurnakan, memberi pedoman bagi kehidupan manusia baik spiritual-materialisme, individual-sosial, jasmani-rohani, duniawi-ukhrawi muaranya hidup dalam keseimbangan dan kesebandingan. Dalam bidang kegiatan ekonomi, islam memberikan pedoman-pedoman hukum yang pada umumnya dalam bentuk garis besar. Hal itu dimaksudkan untuk memberi peluang bagi perkembangan kegiatan perekonomian dikemudian hari.
Keistimewaan dan karakteristik ekonomi dalam pandangan Islam menurut Mustafa Kamal (wawasan Islam dan ekonomi) yaitu:
  1. Ekonomi Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konsep Islam yang utuh dan menyeluruh.
  2. Aktivitas Ekonomi Islam merupakan suatu bentuk ibadah
  3. Tatanan ekonomi yang memiliki tujuan yang sangat mulia
  4. Sistem yang memilki pengawasan melekat yang berakar dari keimanan dan tanggung jawab kepada Allah (Muraqabatullah)
  5. Sistem yang menyelaraskan antara maslahat individu dengan maslahat umum
Seorang filosof Islam, Ibnu Khaldun menegeluarkan pemikirannya tentang ekonomi dalam bukunya Muqaddamah, bagian V, Motif ekonomi timbul karena hasrat manusia yang tidak terbatas, sedangkan barang yang memuaskan kebutuhannya itu sangat terbatas. Sebab itu, pemecah soal ekonomi haruslah dipandang dari dua sudut, sudut tenaga dan sudut penggunaannya.
Adapun sudut tenaga terbagi menjadi:
  1. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang (objek) untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subjek) dinamakan ma’asy (penghidupan). العيشة أوالمعاش أوالمعيشة
  2. Tenaga untuk mengerjakan barang-barang yang memenuhi kebutuhan orang banyak, dinamakan tamawwul (التمولـــ) (perusahaan).
Adapun dari jurusan kegunaannya dapatlah dibagi menjadi:
1. Kegunaan barang-barang yang dihasilkan itu hanyalah untuk kepentingan sendiri. Ini dinamakan rezeki (الرزق) (kata ini disebutkan 55 kali dalam Al-Qur’an dan 73 kali kata-kata yang sama).
2. Kegunaannya untuk kepentingan orang banyak, sedangkan kepentingan orang yang mengerjakan tidaklah menjadi tujuan. Ini dinamakan kasab (الكسب) (tersebut 67 kali dalam Al-Qur’an)
Ekonomi Islam bukan hanya ekspresi syariah yang memberikan eksistensi sistem Islam di tengah-tengah eksistensi sebagai sistem ekonomi modern. Tapi sistem ekonomi Islam lebih sebagai pandangan Islam yang kompleks hasil ekspresi akidah Islam dengan nuansa yang luas dan target yang jelas.
Tiang-tiang perekonomian Islam menurut Adiwarman A. Karim ada tiga. Pertama adalah pengakuan akan multiownership. Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi, kepemilikan bersama (Syirkah), dan kepemilikan Negara. Hal ini sangat berbeda dengan konsep kapitalis klasik yang hanya mengakui kepemilikan pribadi atau konsep sosialis klasik yang hanya mengaui kepemilikan bersama oleh komunal atau oleh Negara.
Kedua adalah kebebasan berekonomi selama tidak melanggar rambu-rambu syariah atau dalam kaidah fiqihnya al ashlu fi al-muamalah al-ibahah. Ekonomi adalah persoalan manusia yang selalu berkembang dengan dinamika. Oleh karena itu, selalu diperlukan pemikiran baru untuk pemecahan masalah ekonomi.
Ketiga adalah social justice. Ini berbeda dengan konsep charity atau donasi dalam ekonomi konvensional. Dalam konsep Islam, bahkan rezeki halal yang kita dapatkan dengan jerih payah itu diyakini ada hak orang lain. Jadi bukan karena kita berbaik hati memberikan donasi, namun ia bukan hak kita, ia hak orang lain.
Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi. Pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada di muka bumi ini, termasuk harta benda, adalah Allah SWT. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan ketentuan-Nya.
2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai berikut:
  • Harta sebagai amanah (titipan) dari Allah SWT. Manusia hanyalah pemegang amanah karena memang tidak mampu mengadakan benda dari tiada. Dalam bahasa Einstein, manusia tidak mampu menciptakan energi; yang mampu manusia lakukan adalah mengubah dari satu bentuk energi ke bentuk energi lain. Pencipta awal segala energi adalah Allah SWT.
  • Harta sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan. Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk memiliki, menguasai, dan menikmati harta. Firman-Nya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (Ali Imran : 14). Sebagai perhiasan hidup, harta sering menyebabkan keangkuhan, kesombongan, serta kebanggan diri (Al-‘Alaq : 6–7).
  • Harta sebagai ujian keimanan. Hal ini terutama menyangkut soal cara mendapatkan dan memanfaatkannya, apakah sesuai dengan ajaran Islam ataukah tidak. (Al-Anfaal : 28)
  • Harta sebagai bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah-Nya dan melaksanakan muamalah di antara sesama manusia, melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah. (At-Taubah : 41, 60 ; Ali Imran : 133-134).
  • Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha (a’mal) atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal dan sesuai dengan aturan-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang mendorong umat manusia bekerja mencari nafkah secara halal.
  • Dilarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian (At-Takaatsur : 1–2), melupakan dzikrullah (tidak ingat kepada Allah dengan segala ketentuan-Nya ) (Al-Munaafiquun ; 9), melupakan shalat dan zakat  (an-Nuur : 37), dan memutuskan kekayaan hanya pada sekelompok orang kaya saja (al-Hasyr : 7).
  • Dilarang menempuh usaha yang haram seperti melalui kegiatan riba (al-Baqarah : 273 – 281), perjudian, berjual beli barang yang dilarang atau haram (al-Maa’idah : 90-91), mencuri, merampok, penggasaban (al-Maa’idah : 38), curang dalam takaran dan timbangan (al-Muthaffifiin : 1–6) melalui cara-cara yang batil dan merugikan (al-Baqarah : 188), dan melalui suap-menyuap (HR Imam Ahmad).
Suatu hal yang jelas bahwa semangat Islam tidak menerima hakikat dan keadaan ini. Islam tidak menganggap bahwa kehidupan ini merupakan suatu perlombaan. Islam menganggap bahwa kehidupan ini merupakan suatu kerjasama dan menganggap perlu agar kerjasama yang aktif dibentuk dalam hubungan dan kerjasama ekonomi. Menurut pandangan Islam terhadap kehidupan, secara asasi manusia sudah seharusnya menciptakan kerjasama dan menganggap aspek ini sebagai hal yang umum dalam mencapai tujuan kehidupan bagi semua orang dan tidak menjalankan persaingan yang dapat menolak hak-hak masyarakat lainnya.
Maka dari itu dalam Sistem Ekonomi Islam, nilai-nilai yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad dirumuskan menjadi norma melalui ijtihad orang-orang yang memenuhi syarat dan dipraktekkan dalam masyarakat. Praktek Sistem Ekonomi Islam ini, telah dilakukan di beberapa negara yang menjadi anggota OKI, yakni Organisasi Konferensi Islam. Yang mana telah menunjukkan hasil nyata adalah praktek Bank Islam dan Lembaga-lembaga Keuangan yang bekerja atas dasar ajaran Islam tersebut diatas.

C. Beberapa Azas Pandangan Islam
Penggambaran azas dasar hukum Islam dimaksudkan sebagai pijakan awal untuk membangun Islam mengenai ekonomi. Azas dasar ini, memang tidak menyangkut teknik individu dalam olah harta atau dalam berekonomi. Hanya azas dasar ini mempunyai pengaruh kuat pada perilaku individu dalam berekonomi. Setidaknya dalam pandangan Islam, ada tiga faktor kuat pada individu dalam berekonomi:
1. Faktor Akidah
Faktor ini jelas berpengaruh kuat pada jiwa seseorang dan pada sikap hidupnya. Dalam banyak ayat, al-Qur’an menjelaskan akidah dengan sangat detail. Akidah mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Ia mempunyai dampak yang kuat dalam cara berpikir seseorang, dan akidah pula yang membakukan tata nilai moral dan sosial. Akidah begitu kuat pengaruhnya, sehingga dapat mengendalikan manusia agar mau mengikuti ajaran yang diembannya.
Islam adalah agama yang kaya akan akidah yang mampu membentuk jiwa manusia. Sebab Islam sanggup menghadirkan kebutuhan spiritual, material juga akal dan rasa. Islam tidak menonjolkan satu aspek saja, tapi Islam membuat keseimbangan antara ketiganya, agar memenuhi nilai standar dan memenuhi berbagai kehidupan manusia.
Agar memiliki signifikansi pengaruh secara kuantitatif, maka konsep akidah (kehadiran Tuhan) harus merupakan konsep yang secara universal dipegang dalam masyarakat yang ada. Begitu persyaratan ini dipenuhi, konsep tersebut menjadi penting dari sudut pandang ekonomi-yaitu, sebagai konterpat ilmu ekonomi Islam yang riil-hidup, dan sebagai laboratorium maya untuk menguji pernyataan-pernyataan spesifik ilmu ekonomi Islam.
2. Faktor Moral
Islam dalam pandangannya menyangkut ekonomi tidak terlepas dari pandangan moral. Moral harus dipertimbangkan mulai awal proses berbisnis, misalnya, hingga target utama dari berbisnis bersangkutan. Sebab penegakan moral adalah bagian penting dari syariah. Undang-undang versi Islam sangat berbeda dengan undang-undang buatan. Perbedaan yang signifikan antara undang-undang formal dan nilai-nilai moral. Yaitu, bahwa hukum formal hanya mengatur perilaku manusia yang menyembul ke permukaan saja, tidak menyentuh ke dalam kecuali sedikit.
Dalam kasus orang bersedekah, misalnya, hukum moral memandang niat dari sedekah ini. Jika niatnya baik, misalnya demi menolong yang lemah, maka sedekah ini baik dan berarti pula sama persis dengan nilai moral. Namun jika sebaliknya maka ia divonis sebagai tindakan yang tidak berakhlak karimah.
3. Hukum Syari’ah berfungsi sebagai sistem komando seseorang dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas.
Tiga faktor ini tidak selalu terwujud secara berbarengan. Tapi, antara satu faktor dengan faktor yang lain saling terkait. Misal, syariah hanya mengatur kehidupan pribadi yang kasat mata. Dalam sosial kemasyarakatan, misalnya, syariah mengatur tata cara jual-beli yang sah, yakni harus adanya akad dan tidak terjadi penipuan. Tapi hukum syariah tidak menyentuh faktor motif seseorang dalam bertindak. Disini fungsi moral bertindak sebagai pembimbing hati dalam bertasarruf (juga dalam berekonomi, misalnya). Faktor niat (motif) ini jelas tidak dijangkau formalitas syariah.
 
DAFTAR PUSTAKA
Haider Naqvi, Syed Nawab. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003
An-Nabahan, M. Faruq. Sistem Ekonomi Islam. Yogyakarta: UI Press Yogyakarta. 2002
K. Lubis, Suhrawardi. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar Grafika. 2000
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/pandangan-islam-terhadap-harta-dan-ekonomi/(8 Oktober 2010)
A. Islahi. Konsep Ekonomi Ibnu Taimiyah. Surabaya: PT. Bina Ilmu. 1997
Daud Ali, Muhammad. Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press). 1988
Umer Chapra, Muhammad. Etika Ekonomi Politik. Surabaya: Risalah Gusti. 1997
Kamal, Mustafa. Wawasan Islam dan Ekonomi: sebuah bunga rampai. Jakarta: Universitas Indonesia. 1997
Waris Masqood, Ruqaiyah. Harta dalam Islam: panduan alqur’an dan hadist dalam mencari dan membelanjakan harta dan kekayaan. Jakarta: Lintas Pustaka. 2003
Nejatullah Siddiqi, Muhammad. Kegiatan Ekonomi dalam Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1991
Kahf, Monzer. Ekonomi Islam: telaah analitik terhadap fungsi sistem ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1995
A.Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam suatu kajian kontemporer. Jakarta: gema Insani Press. 2001
Zakiy Al-Kaaf, Abdullah. Ekonomi dalam Perspektif Islam. Bandung: CV Pustaka Setia. 2002
Mudzakir, Abdul Kohar. “EKONOMI ISLAM: Suatu Perbandingan Pandangan dan Sejarah Perkembangan Pemikiran”. Makalah, Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor, Bogor. 2005
Lubis, Ibrahim. Ekonomi Islam Suatu Pengantar. Jakarta Pusat: Kalam Mulia. 1994
Agus, Bustanuddin. Islam dan Ekonomi: Suatu Tinjauan Sosiologi Agama. Padang: Andalas University Press. 2006
Karim, Adiwarman Azwar dan Halwani, Hendra, dkk. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan: Teori, Praktek dan Realitas Ekonomi Islam. Yogyakarta: Magistra Insani Press. 2004